Sunday, April 27, 2008

Mengintip anoa "mandi"..


Seperti juga "saudaranya" yang lebih gedhe... yaitu kerbau, anoa juga mempunyai kegemaran untuk berkubang demi menjaga kelembaban kulitnya... So, bukan cuma celebrities yang punya chance untuk iklan sabun mandi sebenarnya ya.... Warna gelap kulit anoa menyebabkan anoa perlu sering membasahi tubuhnya..
Sayangnya, satwa yang sepintas kelihatan suka bebersih diri ini punya kebiasaan buruk juga.... Ituu....sambil berkubang sambil defekasi... oouuch....
Tapi masih akan terus diintip dan dipelajari, mengapa dia punya kebiasaan jorok seperti itu...
At least kebiasaan ini menyebabkan pengasuh anoa di Taman Margasatwa Ragunan Jakarta mesti membersihkan bak kubangan sekaligus tempat minum anoa ini setidaknya 3 hari sekali...


Saturday, April 26, 2008

Vegetasi Taman Nasional Lore Lindu



Lore Lindu adalah salah satu Taman Nasional di Indonesia yang luasnya 229.177,5 ha. Taman ini berlokasi di Propinsi Sulawesi Tengah yang dapat dicapai dengan bus yang jaraknya kira-kira 50 km ke arah tenggara dari kotamadya Palu. Menurut World Wild Foundation dan laporan Yayasan lokal (1983) bahwa pertama diusulkan kawasan ini bernama Lore Kalamanta berdasarkan SK.No.522/Kpts/Um/10/1973 ditambah dengan hutan wisata / hutan lindung, danau Lindu berdasarkan SK.No.46/Kpts/Um/1/1978, akan tetapi nama dan statusnya berganti menjadi Taman Nasional Lore Lindu.

Lore Lindu merupakan daerah pegunungan yang diselingi oleh 3 lembah yaitu Lembah Besoa, lembah Bada dan lembah Palolo-Sopu. Pada bagian utara terdapat puncak gunung tertinggi yaitu Rorekatimbu (2.610 m dpl) dan Gunung Nokilalaki (2.355 m dpl). Kawasan ini terbentang secara melebar dari ketinggian 200 m (dekat Irigasi Gumbasa/ Pakuli) hingga 2.610 m ( G. Rorekatimbu).

TNLL terletak di dua wilayah kabupaten, yakni Kabupaten Poso dan Kabupaten Donggala Propinsi Sulawesi Tengah (Sulteng). Di Kabupaten Poso, TNLL merupakan bagian dari Kecamatan Lore Utara dan Kecamatan Lore Selatan. Sedangkan di Kabupaten Donggala, TNLL merupakan bagian dari tiga (3) kecamatan yaitu Kecamatan Kulawi, Kecamatan Biromaru dan Kecamatan Palolo. Terdapat enam puluh tujuh (67) desa yang berhubungan langsung dengan TNLL. TNLL terletak diantara 1°8’ sampai dengan 1°30’ Lintang Selatan (LS) dan 119°58’ sampai dengan 120°16’ Bujur Timur (BT).

TNLL memiliki dua tipe vegetasi, yakni hutan hujan dataran rendah (200-1000 meter di atas permukaan laut) dan hutan hujan pegunungan (1000-2500 meter di atas permukaan laut). Ciri utama vegetasi yang terdapat dalam TNLL terdapat pada vegetasi penutup yang didominasi berbagai jenis rotan (Calamus, sp). Hingga saat ini lebih dari 20 jenis telah dikenal, dan beberapa diantaranya mungkin penting secara ekologis sebagai jenis khas dari tipe vegetasi tertentu atau sebagai indikator dari habitat yang spesifik. Sampai taraf tertentu ini juga berlaku bagi pinanga serta berbagai jenis tumbuhan semak dan paku-pakuan. Walaupun masih memerlukan penyelidikan yang lebih dalam, sementara ini tipe vegetasi utama di Taman Nasional ini dapat dikatakan memiliki penyebaran menurut ketinggian.

Pohon yang terdapat pada kedua zona memiliki tajuk yang tinggi dan berukuran sama. Tinggi pohon mencapai ukuran 30-40 meter dengan diameter 70-80 cm. Struktur vegetasinya pun mirip satu sama lain, serta sering kali tidak memilki batas-batas yang agak jelas pada ketinggian 1.000 m. Disini epifit dan lumut menjadi lebih lazim dijumpai dan jenis-jenis tumbuhan pegunungan secara bertahap menggantikan jenis tumbuhan dataran rendah, walaupun beberapa jenis tumbuhan dataran rendah masih dapat dijumpai sampai ketinggian 1.500 m. Di dalam tipe hutan hujan pegunungan juga mudah dikenali suatu sub-zona , yaitu hutan hujan pegunungan bawah .

Vegetasi di wilayah hutan hujan dataran rendah

Komposisi flora hutan hujan dataran rendah agak bervariasi ditandai jenis yang dikenal dengan mussaendopsis beccariana, ficus sp, myristica sp, pterospermum, canangium odoratum, arenga pinatta, arenga sp, dan lain-lain. Vegetasi pada hutan hujan dataran rendah ini meliputi kurang dari 10 % dari luas TNLL dan terutama dapat dijumpai pada jalur sempit yang terbentang sepanjang batas utara dan barat pada ketinggian antara 200 sampai 1.000 m komposisi tumbuhan dari zona ini agak beraneka ragam, tidak dijumpai jenis tertentu yang dominan. Ciri vegetasi ini ditandai oleh adanya pohon yang dikenal sebagai Pawa (Rubiaceace), Ntrode (Pterospermun celebicum), Ndolia (Cananga odorata), Ngkera (Horsfieldia sp), Lawedaru (Knema atau Myristica) dan juga Palma saguer (Arenga pinata) dan take (Arenga undulatifolia), Mpire (Caryota sp). Pada umumnya jenis tumbuhan tersebut tidak terdapat pada ketinggian lebih dari 1.000 m .

Jenis tumbuhan lain yang diketemukan dalam zona vegetasi ini adalah Tahiti (Disoxyllum sp), Uru (Elmerillia atau Manglietia), Luluna (Celtis sp), Maro (Garcinia sp), Kaupahi, Dango (Carralia brachiata), Palili (Lithocarpus sp), Nuncu (Ficus sp), Tingaloko (Leea sp), Tea Uru (Artocarpus sp), Huka (Gnetum gnemon), Pangi (Pangium edule), Kau mpangana (Ardisia). Di beberapa tempat juga terdapat Vatica sp (Dipterocarpaceae) Durio zibethinus (durian), Duabanga moluccana (Lekotu) dan Octomeles sumatrana (benoang)

Vegetasi ini bergabung dengan vegetasi sekunder yang tumbuh setelah hutan asli dibuka untuk perladangan dan kemudian ditinggalkan. Komposisi tumbuhan dari vegetasi sekunder ini bervariasi menurut umur serta lokasi tegakan. Secara umum dalam tahun pertama setelah ladang ditinggalkan muncul kemudian rumput-rumput dan jenis tumbuhan yang tak berkayu. Pada tahun kedua atau ketiga, herba penutup ini akan diganti oleh semak belukar yang lebat, yang didominasi oleh walobira (Melastoma malabathricum) dan atau hinduru (Villebrunnea sp). Jenis pohon yang kelak menggantikan semak belukar ini diantaranya wulaya (Trema orientalis), hinanu (Callicapra), kuo (Alphitonia zizyphoides), paili (Lithocarpus). Jenis-jenis ini dapat membentuk suatu tegakan campuran, atau tegakan yang didominasi oleh beberapa jenis saja, tetapi bisa juga masing-masing menguasai areal tertentu untuk membentuk suatu tegakan murni. Sebagai tambahan bahwa tanah terbuka yang dibiarkan sesudah longsor terjadi, mungkin langsung seluruhnya diambil alih oleh (Casuarina sumatrana atau Pigaffeta elata)


Vegetasi di wilayah hutan hujan pegunungan

Hutan hujan pegunungan yang merupakan 90 % dari luas seluruh areal TNLL didominasi jenis vegetasi seperti misalnya castanopsis asgentea, lithocarpus sp. Juga terdapat beberapa jenis yang agak terbatas jumlahnya seperti misalnya podocorpus, elacorpus, adinandra, listea, callohyllun, eucaliptus deglupta dan lain-lain.

Pada vegetasi hutan hujan pegunungan, karena lebih dari 90 % dari TNLL ini berada pada ketinggian di atas 1.000 m (antara 1.000 - 2.600 m), maka bagian terbesar vegetasi yang menutupi Taman Nasional ini adalah hutan hujan pegunungan. Vegetasi di zona ini ditandai oleh adanya dominasi dari jenis pohon tertentu seperti kaha (Castanopsis argentea), palili bohe, palili nete, palili pence (Lithocarpus sp) dan berbagai jenis Syzigium. Jenis lain yang juga terbesar tetapi kurang begitu umum ditemukan adalah jenis-jenis dari Podocarpus, Elaeocarpus, Adinandra, Lasianthus, Cinnamomum, Letsea, Callophylium. Salah satu pohon yang tajuknya terbesar yaitu Aghatis celebica dan Agathis philippinensis biasanya terdapat dalam suatu tegakan atau sebagai individu-individu yang tersebar pada punggung bukit di atas ketinggian 1.500 m, bersama-sama dengan Phyllocladus hypophyllus dan Pandanus sp, Litsea sp. Vegetasi jenis lain yang mendominasi kawasan ini adalah Rhododendron sp (R. malayanum, R.celebicum dan R. Zollingerii), dan Vaccinium sp.

Referensi:

Kessler, P J A, Bos, M, Ramadhanil P and Gradstein. 2002. Checklist of Woody Plant of Sulawesi, Indonesia. Symposium (SFB 552) “ Land Use, Nature Conservation and the Stability of Rainforest margins in Southeast Asia. Bogor. 29 September- 3 October 2002.

Kinnaird M F, 1997. Sulawesi Utara, Sebuah Panduan Sejarah Alam . Yayasan Pengembangan Wallacea.

Malik, A., Pujaningsih, R.I. and Labiro, E. 2004. Participatory of Wildlife Conservation in Central Sulawesi Indonesia. (A Review on A Case study of Anoa Bubalus spp. as one of endemic endangered animal from Sulawesi, Indonesia). In: Proceeding of The 5th International Symposium-cum-Workshop "The Role of German Alumni in Rural/Regional Development and Entrepreneurship " by SEAG, Royal Agricultural University and the University Consortium Georg-August-University Göttingen, University of Kassel and Philipps University Marburg. Phnom Penh, August 23 - 27, 2004.

Pujaningsih, R.I., Sukamto, B dan Labiro, E. 2005. Identification and Feed Technology Processing for Roughage in Term of Anoa (Bubalus sp) conservation. National Seminar of Fundamental Research. Jakarta, 16-18th May 2005

Ramadhanil P, Kessler, P J A, S R Gradstein, E. Guhardja, C.H. Leuschner, H. Wiriadinata, S. T. Sudirdjo. 2002. Tree Composition In Secondary Forest of Lore Lindu National Park Central Sulawesi, Indonesia. Symposium (SFB 552) “ Land Use, Nature Conservation and the Stability of Rainforest margins in Southeast Asia. Bogor. 29 September- 3 October 2002.

Ramadhanil P dan Z. Basri. 2002. Rattan Inventory In The Margin of Lore Lindu National Park Central Sulawesi, Indonesia. Symposium (SFB 552) “ Land Use, Nature Conseravtion and the Stability of Rainforest margins in Southeast Asia. Bogor. 29 September- 3 October 2002.

Veldkamp J F, Ross, M C and Rifai M A, 1977. Flora Malesiana Bulletin, 12 (1-2). Leiden: Rijksherbarium.

Whitmore, T C, I G M Tantra, 1989. Tree Flora of Indonesia. Checklist for Sulawesi Published By Agency for Research and Development Forest Research and Development Center Bogor. Indonesia.

Saturday, April 19, 2008

PERKEMBANGAN PENELITIAN DI BIDANG VEGETASI PAKAN ALAMI ANOA

Anoa sudah ditetapkan sebagai satwa yang dilindungi sejak tahun 1931 (Law of Protection of Wild Animals 1931, no 134). Penelitian yang dilakukan pada kurun waktu tersebut masih sangat sedikit dan berkisar pada populasi, sebaran serta taksonomi dari satwa endemik Sulawesi ini. Workshop yang diselenggarakan oleh Dirjen PHPA (Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam) bekerja sama dengan Asian Wild Cattle Specialist Group dan Conservation Breeding Specialist Group pada tanggal 22-26 Juli 1996 di Taman Safari Indonesia, Cisarua, memberikan informasi berkisar pada status populasi dan sistem manajemen yang telah diterapkan, model penangkaran dan penanganan selama berada di dalam penangkaran (tagging, social characteristic, daily behaviours). Berdasarkan informasi dari Direktur Jendral PHKA (Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam) (2005) pada seminar sehari “Peduli Anoa dan Babirusa Indonesia” di Bogor tanggal 20 September 2005, kajian tentang anoa relatif masih sangat terbatas dibandingkan satwa-satwa khas Kalimantan dan Sumatera (Orang utan, Badak, Gajah Sumatra, Harimau).

Fadjar (1973) melaporkan bahwa di tempat penangkarannya di Kebun Binatang Ragunan Jakarta anoa diberi makan rumput, dedaunan dan buah-buahan. Pemberian jenis pakan tersebut berdasarkan informasi dari penduduk asal anoa ditangkap (Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara). Whitten et al. (1987) menginformasikan bahwa anoa mengkonsumsi biji dari tumbuhan Lithocarpus sp, Castanopsis sp dan Leptospermum sp. Para peneliti Jerman yang berkolaborasi dengan peneliti dari Institut Pertanian Bogor dan Universitas Tadulako pada periode tahun 2000-2003 menduga bahwa anoa turut berperan dalam penyebaran spesies tumbuhan tersebut melalui biji yang dimakan tetapi tidak tercerna dan terekskresikan pada proses defekasi anoa.

Penelitian tentang ekologi dan konservasi anoa dataran rendah telah dilakukan oleh Mustari (1996) di Suaka Margasatwa Tanjung Amolengu Sulawesi Tenggara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 33 spesies vegetasi yang diduga dikonsumsi oleh anoa di lokasi tersebut. Bagian vegetasi yang diduga dikonsumsi oleh anoa meliputi dedaunan dan batang tanaman muda, buah-buahan masak dan umbi tanaman.

Winenang (1996) menyatakan bahwa belum banyak penelitian yang dilakukan tentang tingkah laku makan dan jenis pakan anoa. Pengamatan langsung yang dilakukan di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone Sulawesi Utara menginformasikan dugaan bahwa anoa di habitatnya mengkonsumsi dedaunan dari semak-semak muda, sedangkan di tempat penangkaran beradaptasi dengan pakan berupa rerumputan. Kebutuhan nutrisi anoa di Kebun Binatang Ragunan Jakarta diteliti oleh Mustari (1997) dengan metode penghitungan konsumsi pakan.

Analisis komposisi pakan anoa di TNLL Sulawesi Tengah dilakukan oleh Labiro (2001) menggunakan metode pengamatan langsung berdasarkan bekas senggutan, kotoran dan jejak kaki anoa yang terdapat di lokasi vegetasi. Informasi yang diperoleh merekomendasikan bahwa TNLL memiliki potensi cukup besar dalam menyediakan vegetasi pakan untuk anoa. Pada tahun 1992 Foead juga telah mencoba mengidentifikasi jenis pakan alami anoa di Taman Nasional Lore Lindu dengan menggunakan kombinasi pengamatan langsung dan analisis faecal. Tetapi karena terbatasnya referensi sampel epidermis vegetasi maka informasi direkomendasikan sebatas prosentase vegetasi dikotil dan monokotil yang teridentifikasi dikonsumsi oleh anoa.

Mustari (2003b) dalam disertasinya menggunakan metode langsung dan tidak langsung untuk mendapatkan informasi jenis pakan anoa di habitatnya di Suaka Margasatwa Tanjung Peropa dan Tanjung Amolengu Sulawesi Tenggara. Metode langsung dilakukan melalui pengamatan vegetasi di habitat anoa berdasarkan bekas senggutan, kotoran dan jejak kaki anoa, sedangkan metode tidak langsung dengan menganalisis kotoran anoa untuk mengidentifikasi vegetasi yang telah dikonsumsi oleh satwa tersebut. Identifikasi pakan anoa dengan metode pengamatan langsung di Desa Toro wilayah TNLL Sulawesi Tengah dan identifikasi teknologi pengolahan pakan anoa dilakukan oleh Pujaningsih et al. (2005).

Gambar bentuk kotoran anoa dibandingkan ukuran GPS.

Berdasarkan informasi tentang identifikasi pakan anoa di berbagai daerah di pulau Sulawesi dapat diambil kesimpulan sementara bahwa anoa mengkonsumsi pakan dengan kadar protein rendah, kandungan serat kasar tinggi dan kandungan air yang relatif tinggi. Anoa juga mudah diadaptasikan dengan pakan yang terdapat di sekitar satwa tersebut tinggal (in situ maupun ex situ). Meskipun demikian kontinyuitas kualitas dan kuantitas pakan sangat diperlukan anoa untuk menjamin kebutuhan hidup pokok, produksi dan reproduksinya dalam potensinya sebagai satwa budidaya. Didukung oleh informasi yang ada maka penelitian tentang teknologi penyediaan dan pengolahan pakan anoa yang aplikatif perlu dilakukan untuk membantu upaya penyediaan pakan dalam rangka konservasi anoa dan pemanfaatannya sebagai satwa budidaya. Kebutuhan pakan yang tepat dan kontinyu baik kualitas maupun kuantitas bagi anoa akan sangat membantu penampilan fisik dan proses reproduksinya.

Friday, April 04, 2008

JENIS SATWA ENDEMIK (CITES)

Daftar beberapa jenis endemik Wilayah Wallacea

yang tercantum dalam appendix CITES

No.

Nama Ilmiah

Nama Indonesia

Appendix CITES

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

14.

15.

16.

17.

18.

19.

20.

21.

22.

Phalanger intercastellanus

Phalanger orientalis

Tarsius pumilus

Tarsius spectrum

Macaca maura

Macaca nigra

Macaca ocreata

Macaca tonkeana

Babyrousa babyrussa

Bubalus depressicornis

Bubalus quarlesi

Otus manadensis

Pedelopides exarnatus

Aceros casidix

Varanus indicus

Varanus komodoensis

Varanus timorensi

Macrocephalon maleo

Accipiter manus

Accipiter rhodogaster

Eos histrio

Tricoglosus ornatus

Dan banyak lagi jenis lainya

Kuskus selatan

Kuskus biasa

Krabuku kecil

Krabuku tangkasi

Monyet dare

Monyet wolai

Monyet yaki

Monyet boti

Babi rusa

Anoadataranrendah

Anoa gunung

Celepuk Sulawesi

Rangkong Sulawesi

Julang Sulawesi

Biawak maluku

Biawak komodo

Biawak timor

Maleo

Elang alap kecil

Elang alap dada merah

Nuri Talaud

Perkici dora

II

II

II

II

II

II

II

II

I

I

I

II

II

II

II

I

II

I

II

II

I

II

PENTINGNYA KEGIATAN KONSERVASI

Konservasi kawasan dan keanekaragaman hayati meliputi pengelolaan dan pendayagunaan kawasan konservasi serta pemberdayaan masyarakat sekitar taman nasional, taman wisata, taman hutan raya, kawasan suaka alam, hutan lindung dan taman buru. Konservasi keanekaragaman hayati meliputi konservasi jenis dan genetik, konservasi ekosistem esensial, pengembangan lembaga konservasi, penangkaran tumbuhan dan satwa liar, tertib peredaran tumbuhan dan satwa liar (Direktorat Jendral PHKA, 2002). Kenyataannya sampai sekarang pelestarian tersebut masih belum terlaksana dengan baik, mengingat ancaman yang dihadapi sangat rumit dan sangat sulit untuk di atasi. Beberapa di antaranya adalah pengaruh perubahan iklim, eksploitasi yang berlebihan atau kegiatan yang mengakibatkan kerusakan fisik penopang kehidupan, pencemaran, kehadiran spesies asing yang invasif, dan kegiatan pembudidayaan yang tidak disertai upaya yang menjamin kelestarian berbagai varietas dari spesies yang dibudidayakan. Gunawan dan Mukhtar (2005) melaporkan bahwa perambahan menyebabkan terganggunya sampai berubahnya ekosistem mikro akibat berubahnya struktur dan komposisi sampai hilangnya vegetasi. Perambahan juga menyebabkan berkurangnya sampai hilangnya ruang, pakan, tempat berlindung, dan tempat beraktivitas sosial. Pengaruh perambahan hutan yang diterima oleh populasi satwaliar antara lain menurunnya populasi, terganggunya kesehatan, migrasi, meningkatnya persaingan, perubahan perilaku, perubahan kebiasaan makan dan jenis makanan, dan terganggunya proses reproduksi.

Jenis-jenis endemik terbentuk karena adanya habitat yang spesifik. Jenis-jenis tersebut hanya terdapat pada habitat di tempat mereka terbentuk dan hanya mampu beradaptasi dengan karakteristik habitat tersebut. Apabila habitatnya mengalami perubahan secara drastis (misalnya oleh adanya polusi, konversi lahan, fragmentasi habitat, dll), maka jenis-jenis endemik sering tidak mampu beradaptasi mengikuti perubahan tersebut. Dihadapkan dalam kondisi seperti ini, jenis-jenis endemik akan mengarah pada kepunahan. Soehartono dan Mardiastuti (2003) menegaskan dengan kata lain, jenis-jenis endemik mudah mengalami kepunahan apabila habitatnya terganggu.

Kemampuan adaptasi yang lemah tidak saja terjadi terhadap perubahan habitat, tetapi juga dalam hal beradaptasi dengan jenis-jenis baru (Malik et al., 2004). Jenis-jenis endemik tidak terbiasa hidup berkompetisi, sehingga akan mengalami tekanan apabila ke dalam habitatnya diintroduksi jenis-jenis dari habitat lain yang memanfaatkan sumberdaya yang sama dengan jenis endemik tersebut. Keberadaan jenis-jenis kompetitor akhirnya akan secara lambat laun menyingkirkan posisi jenis-jenis endemik. Umumnya jenis-jenis endemik juga kurang atau bahkan tidak terbiasa hidup dengan predator, sehingga dia tidak memiliki kemampuan untuk menyelamatkan diri dari predator. Apabila ke dalam habitatnya diintroduksi predator maka dalam waktu singkat populasi jenis endemik akan habis. Sama halnya dengan predator, penyebarannya yang terbatas menyebabkan jenis-jenis endemik juga tidak terbiasa dengan patogen yang berasal dari habitat lain. Kedatangan jenis-jenis introduksi yang membawa patogen baru ke habitat di tempat jenis-jenis endemik berada dapat menimbulkan wabah yang memusnahkan jenis-jenis endemik. Pemaparan tersebut menunjukkan betapa jenis-jenis endemik memiliki resiko kepunahan yang sangat tinggi, sehingga pengelolaannya perlu dilakukan secara sangat hati-hati.

Secara umum, terdapat beberapa hal yang menyebabkan rawan punah atau punahnya jenis hayati yaitu: (1) Kurangnya eksplorasi jenis baru, sehingga kepunahan jenis tersebut tidak diketahui; (2) Penyediaaan habitat untuk jenis yang dilindungi masih sangat kurang (Alikodra, 1996; Direktorat Jendral PHKA, 2002; Malik et al., 2004); (3) Habitat yang disediakan tidak sesuai bagi suatu jenis yang dilindungi; (4) Pembangunan yang tidak memperhatikan kelestarian alam (Malik et al. 2004); (5) Pemanfaatan yang memutus daur reproduksi (Kasim, 2002); (6) Adanya pemindahan suatu jenis baru kedalam suatu ekosistem; (7) Kurang sadarnya akan pentingnya konservasi hewan langka bagi anggota masyarakat sekitar, termasuk pengelola kawasan (Pujaningsih et al., 2007; Soehartono dan Mardiastuti, 2003); (8) Upaya kongkrit perlindungan belum nyata di lapangan. Masih banyak dijumpai penjualan jenis hayati yang dilindungi di tempat umum; (9) Pengambilan dari alam secara besar-besaran dan terus-menerus (Kasim, 2002).

Terdapat dua jenis model konservasi (FAO, 2002), yaitu konservasi in situ dan konservasi ex situ. Konservasi in situ dianggap merupakan strategi ideal konservasi, meskipun pelaksanaannya seringkali sulit dilakukan. Sebagai contoh misalnya, kerusakan habitat spesies yang langka dan atau rawan punah seringkali memerlukan upaya konservasi ex situ. Lebih lanjut konservasi ex situ dapat memberikan solusi yang mendukung upaya konservasi in situ. Beberapa pihak yakin bahwa ke dua model konservasi diperlukan untuk upaya perlindungan sumber daya alam hayati. Menurut Franco et al. (2004) mempelajari habitat asli akan mendukung upaya pengelolaan di area pemeliharaan yang berbeda. Salah satu contoh konservasi in situ adalah program perbaikan ekosistem suatu kawasan yang dilindungi. Program ini diiringi dengan konservasi ex situ yang berupaya melakukan penyediaan bibit tanaman maupun mengembangbiakan satwa langka di tempat-tempat penangkaran.

INFORMASI PENELITIAN TENTANG ANOA


Ibarat kertas putih, satwa yang endemik pulau Sulawesi ini semakin menarik minat pemerhati untuk menulisinya, memberikan gambar dan cerita tentang bagaimana bentuk konservasi yang tepat demi menjaga eksistensinya di bumi ini.
Sayangnya banyak kendala yang harus dicari solusinya berkaitan dengan kewenangan maupun aturan main penelitian yang menggunakan satwa appendix I sebagai kompetensinya. Concerning with animal welfare, seringkali sulit untuk membuat publikasi dalam rangka menginformasikan penelitian-penelitian yang telah dilakukan in according with anoa.

Informasi tentang kualitas karkas, identifikasi pakan, ekologi behaviour, taksonomi, dan mungkin masih ada lagi yang lain, masih sangat diperlukan untuk dipublikasikan sehingga menghasilkan rangkuman cerita yang informatif tentang anoa. Tetapi jika sudah tersangkut pada rambu-rambu konservasi dan animal welfare, semua itu menjadi sangat terbatas.
Prinsip animal welfare menyebabkan metodologi penelitian yang membuat binatang tidak nyaman sangat-sangat ditentang. Konservasi juga tidak mengijinkan upaya penelitian yang mengganggu populasinya.

Yah, tidak ada salahnya jika media publikasi yang tidak resmi yang kemudian "dianjurkan" untuk ditempuh. Komunikasi pribadi lewat private media mungkin menjadi alternatif yang bisa disarankan. For the seek of the sustainable of our biodiversity....please do so...

Notes