Wednesday, June 07, 2006

Feassibility Study Usaha Bullfrog

Survey yang dilakukan pada usaha budidaya kodok lembu (bullfrog) memberikan beberapa alternatif yang bisa dilakukan pada usaha ini. Apakah akan menjadi juragan kodok konsumsi ? Juragan percil (kodok bibit) ? Pemilik restauran bullfrog ? Pengusaha pakan bullfrog sampai ke usaha sebagai eksportir paha kodok maupun kodok hidup. Peluang yang ada sungguh sangat menjanjikan. Coba saja dihitung, 1 kg kodok hidup berisi 4 ekor dengan ukuran 250-300 gram per ekor dijual dengan harga Rp.18.500,00. Kemudian diolah dan disajikan sebagai steak dengan harga Rp.24.000,00 per porsinya, sedangkan 1 porsi steak terdiri atas 3 paha kodok, maka dari 1 kg kodok hidup seharga Rp.18.500,00 mampu menghasilkan sekitar 2 porsi steak seharga total Rp.48.000,00 “Sisa” satu ekor kodok diasumsikan sebagai biaya pokok produksi untuk mengolah si kodok hidup menjadi steak lezat. Keuntungan yang diperoleh dari pembelian 1 kg kodok hidup sekitar Rp.29.000,00 Belum jika disajikan sebagai Tom Yam, digoreng dengan tepung, dimasak tauco, diolah sebagai sop dan banyak lagi jenis masakan yang lain yang biaya produksinya tidak seharga 1 porsi steak…
Kondisi tersebut jika ingin berwirausaha sebagai pemilik warung makan atau restauran bullfrog. Tetapi jika memiliki ketertarikan di bidang usaha pembesaran dapat dicoba dengan membuat sekitar 40 buah kolam berukuran 1,5 m2 dengan tinggi sekitar 1 meter juga. Jumlah ini untuk skala pembesaran 10.000 ekor percil (kodok bibit). Tidak perlu menggunakan bahan-bahan yang mahal, bisa dengan batako atau kawat/jaring ikan tergantung pada bahan yang ada di sekitar tempat tinggal. Yang penting adalah adanya konstruksi untuk pembuangan air pada saat membersihkan kolam itu tiap harinya. Air yang diperlukan juga tidak terlalu banyak, hanya dibutuhkan air setinggi 15 cm untuk menjaga kelembaban kulit si kodok.. Karena jenis bullfrog ini (Rana catesbeiana) tidak dapat hidup tanpa air. Berbeda dengan beberapa jenis kodok maupun katak yang pada umumnya amfibi (dapat hidup di dua alam).
Jika dipilih menggunakan batako maka diprediksikan untuk penggunaan selama 5 tahun. Penyusutan dihitung sebesar Rp.825.000,00 Harga percil yang baik saat ini sekitar Rp.1.000,00 per ekornya sehingga untuk 10.000 ekor diperlukan biaya Rp.10.000.000,00 Untuk biaya pakan sebanyak 2 ton selama 4 bulan masa pembesaran diperlukan biaya Rp.9.000.000,00 Biasanya digunakan pakan ikan lele karena ketersediaan pakan khusus Bullfrog masih sulit dan harganya mahal. Tetapi dengan menggunakan pakan ikan lele yang diberi tambahan protein alami berupa cincangan daging bekicot, keong mas atau ikan-ikan kecil sudah cukup mampu mencukupi kebutuhan hidupnya. Obat-obatan dan vitamin Rp.200.000,00 Tenaga kerja diperkirakan memerlukan biaya Rp.700.000,00 Kebutuhan tenaga kerja pada budidaya bullfrog tidaklah terlalu banyak, karena dua orang yang trampil sudah cukup untuk mengelola 40 buah kolam dengan jam kerja relatif singkat. Pagi 2 jam kerja dan sore 2 jam kerja juga.. Sisa waktu bisa dipergunakan untuk aktivitas yang lain.
Mortalitas (kematian) pada usaha budidaya bullfrog masih sangat besar, berkisar antara 20-30%. Hal ini disebabkan belum ada penanganan terhadap penyakit bullfrog yang tepat. Pada skala pembesaran 10.000 ekor percil dapat diharapkan untuk memperoleh 7.000 ekor kodok dewasa dengan berat hidup sekitar 250 gram atau total 1.750 kg kodok hidup. Harga jual kodok hidup di tingkat peternak saat ini adalah Rp.18.500/kg kodok hidup, sehingga diperoleh pendapatan kotor Rp.32.375.000,00 Dikurangi total biaya produksi Rp. 20.725.000,00 akan mendapatkan keuntungan bersih Rp.11.650.000,00 Titik balik modal (break even point) diperoleh pada penjualan kodok hidup Rp.10.400,00/kg
Perhitungan di atas adalah untuk pembesaran selama 4 bulan. Sehingga setahun berdasarkan kalkulasi matematika dapat dilakukan 3 kali periode pembesaran. Di atas kertas dapat diperoleh keuntungan sejumlah Rp.34.950.000/tahun. Kondisi ini tentu saja tidak dengan seketika dapat diaplikasikan. Perlu latihan untuk mengelola bullfrog sehingga resiko kematian dan mismanagement dapat dikurangi. Total biaya produksi dapat ditekan jika pengadaan bibit (percil) dilakukan sendiri dengan menyisihkan sebagian kodok sebagai indukan. Kodok indukan ini tentunya membutuhkan perlakuan yang berbeda terutama dalam hal kualitas pakannya agar menghasilkan telur-telur yang berkualitas pula. Beberapa peternak menspesialisasikan diri di bidang pengadaan percil maupun indukan. Sepasang induk bullfrog yang bagus harganya sekitar Rp.300 – 450.000,00 Dari sepasang indukan ini dapat diperoleh 15.000 – 20.000 butir telur. Setahun mereka dapat dipijahkan 3 hingga 4 kali dengan pemberian pakan yang berkualitas. Jika anda memiliki 5 pasang saja induk bullfrog, maka anda siap menjadi juragan percil yang keberadaannya sangat langka di kalangan peternak kodok lembu. Karena mengawinkan kodok lembu tidak semudah ijab kabul di KUA, perlu sentuhan dan keahlian khusus. Tetapi jika si kodok sudah cocok dengan jodohnya....bisa dinikmatilah hasilnya...
Sudah disampaikan sebelumnya bahwa pengadaan pakan khusus bullfrog masih tidak mudah. Karena ketersediaannya yang hanya sedikit disamping harganya yang juga mahal. Sehingga peternak biasa meracik sendiri supplemen untuk meningkatkan daya tahan hidup si kodok. Pakan yang berkualitas akan menurunkan mortalitas dan meningkatkan pertambahan bobot badan si kodok serta feed eficiency ratio konsumsi pakannya. Bahan dasar yang digunakan adalah pellet pakan ikan lele yang kandungan proteinnya cukup tinggi dan harganya murah. Pellet ini dihancurkan kemudian dicampur dengan vitamin C dan vitamin E serta cincangan daging bekicot yang sudah direbus. Setelah dicampur kemudian digiling dengan gilingan daging untuk mendapatkan bentuk pelet kembali. Untuk pakan kodok indukan dapat juga diberi tambahan kuning telur itik, tetapi pakan tambahan ini tidak diberikan setiap hari untuk menjaga dari kelebihan bobot badan yang akan mengganggu aktivitas pemijahannya. Nah...tinggal dipilih, ingin menjadi juragan apa anda nantinya......(rip)

Wirausaha Bullfrog

MENJUAL PAHA MENGAIS DOLLAR

Prioritas pengembangan ternak konvensional (sapi perah, sapi potong, kambing, domba, ayam dan babi) belum juga dapat berlomba dengan peningkatan kebutuhan protein asal hewani. Banyak hewan di Indonesia yang masih liar dan bila dibudidayakan akan menjadi ternak yang cukup potensial sebagai sumber daging bagi pemenuhan makanan yang bergizi tinggi untuk manusia. Salah satu di antara hewan tersebut adalah kodok. Kandungan protein daging paha kodok (16.4 g/100 g) cukup setara jika dibandingkan dengan sumber protein hewani lainnya. Disamping itu komposisi mineral dan vitamin yang terdapat pada daging paha kodok pun tidak mengecewakan. Kondisi ini menempatkan kodok sebagai salah satu alternatif sumber protein hewani yang potensial.

Untuk dapat memenuhi tuntutan ekspor dan mengais devisa dari komoditi paha kodok maka kualitas produk harus diperbaiki. Katak Lembu (Rana catesbeiana) atau sering juga dikenal sebagai Bullfrog merupakan satwa yang sangat potensial untuk dikembangkan, karena budidayanya tidak membutuhkan lahan yang luas serta mempunyai peluang ekspor yang sangat menggembirakan. Sementara itu, budidaya katak lembu yang sudah dilakukan di Indonesia pelakunya masih sangat terbatas dan sering mengalami pasang surut karena berbagai kendala.
Sejak pertengahan tahun 1997, hampir semua sektor usaha peternakan mengalami krisis, termasuk juga budidaya katak lembu. Keadaan ini menyebabkan peluang ekspor guna mendatangkan devisa dirasakan sangat merugikan. Padahal Indonesia pernah menempati urutan ke-2 dalam pemenuhan pasar ekspor paha katak ke negara-negara MEE (tahun 1979). Pasar ekspor juga tertuju ke negara-negara Amerika, Hongkong, Singapura dan Jepang. Di samping itu, peluang pasar dalam negeri pun sangat tinggi untuk disajikan sebagai masakan khas Indonesia yang bergizi tinggi mulai dari swikee, goreng tepung, pepes sampai dengan diolah menjadi kerupuk kulit.
Agar peluang tersebut dapat diraih kembali, maka diperlukan upaya-upaya untuk menggairahkan kembali budidaya katak lembu di Indonesia. Produksi paha katak secara relatif masih belum mampu memenuhi permintaan untuk pasar domestik maupun ekspor. Pasokan katak batu dan katak hijau hasil tangkapan alam semakin menyusut. Tak ada pilihan bagi eksportir kecuali mengembangkan bullfrog atau katak lembu. Hal ini membuka peluang pengembangan jenis usaha baru bagi para pemuda putus sekolah atau para pencari kerja.
Survey pasar menunjukkan bahwa permintaan akan katak lembu cukup tinggi baik untuk pasar lokal (terutama di daerah Jawa Timur) maupun ekspor. Permintaan ekspor kodok hidup banyak datang dari Singapura. Berdasarkan informasi yang diterima dari para eksportir, jumlahnya bisa mencapai ratusan ton per bulan. Masuk akal bila permintaan Singapura begitu besar. Karena sebagai pasar transit Singapura melakukan re-ekspor ke negara-negara Amerika dan Eropa serta negara Asia lainnya. Akan tetapi pemenuhan kebutuhan tersebut baru sekitar 20% dari total permintaan. Wajar, karena panen kodok setiap 4 bulan sekali sedangkan konsumsinya tiap hari! Untuk memenuhi permintaan akan kodok hidup para eksportir harus pontang-panting mengumpulkan kodok dari para petani kodok yang kebanyakan terpusat di Jawa Timur dan Jawa Barat. Di Jawa Tengah terpusat di daerah Klaten dan Sleman yang pasca gempa ini masih belum tahu bagaimana harus memulai kembali usahanya karena fasilitas yang dimiliki hancur (kolam-kolam pemeliharaan dan pembesaran kodok).
Harga jual di pasar lokal berkisar pada Rp. 14.500 - Rp. 18.000,- per kg katak hidup dengan harga pokok produksi (HPP) sekitar Rp 12.000,00 per kg. HPP ini dapat ditekan jika peternak dapat mengusahakan bibit katak sendiri. Pengadaan pakan juga akan lebih menguntungkan jika dapat dibuat / dipesan secara kolektif, karena untuk sementara waktu ini, pakan khusus katak lembu hanya diproduksi sesuai permintaan. Perhitungan kelayakan usaha pada budidaya kodok lembu disampaikan pada tulisan yang lain.

Friday, June 02, 2006

Sekolah ke Jerman ??

Persiapan dan Problem Sekolah ke Jerman

*) Retno Iswarin Pujaningsih

Pendahuluan
Melaksanakan studi ke luar negeri berarti membuka wawasan baru di lingkungan yang baru. Banyak yang perlu dipersiapkan dan direncanakan. Keputusan untuk melaksanakan studi dan hidup di luar negeri untuk sementara waktu - dalam hal ini ke Jerman - merupakan langkah awal dari persiapan untuk menghadapi sesuatu hal menarik dan penuh tantangan. Apa yang akan dihadapi, antisipasi yang perlu dilakukan serta kemampuan untuk memperkirakan seberapa besar peluang itu dapat tercapai merupakan pertanyaan-pertanyaan yang umum dihadapi oleh para pemula.
Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah mencoba mencari tahu dan mengenal Jerman, bagaimana penduduknya serta kultur dan budayanya. Meskipun seringkali kenyataan berbeda dengan teori maupun apa yang ditulis di buku-buku. Tetapi setidak-tidaknya sudah ada bayangan tentang apa yang akan dihadapi. Sehingga dengan sendirinya dapat mengantisipasi problematik yang mungkin dihadapi, baik karena perbedaan kultur, kebiasaan hidup sehari-hari maupun perbedaan pandangan hidup yang bukan tidak mungkin pasti akan terjadi.
Berbekal itu semua barulah kita mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan umum selanjutnya.
1. Dimana saya akan melanjutkan sekolah saya nanti setibanya di Jerman?
2. Institut / program studi apa yang sesuai untuk saya ?
3. Bagaimana saya bisa membiayai sekolah saya ? Dan berapa banyak dana yang saya perlukan setiap bulannya ?
4. Beasiswa mana yang bisa membantu mendanai studi saya ? Syarat-syarat apa yang diperlukan supaya bisa mendapatkan beasiswa ?
5. Apakah saya memerlukan ijasah bahasa dengan kualifikasi tertentu ? Dimana dan bagaimana saya bisa mendapatkannya ?
6. Kapan periode pendaftaran untuk studi biasa dilakukan ?
Daftar pertanyaan tersebut dapat terus bertambah sesuai dengan tujuan studi kita ke Jerman. Apakah kita akan meneruskan studi sebagai graduate student, post graduate student ataukah doctoral student ?
Jawaban untuk daftar pertanyaan tersebut sebenarnya tidaklah perlu dirisaukan asalkan pertanyaan disampaikan kepada pihak yang benar-benar tahu. Sehingga informasi yang diperlukan dapat diperoleh dengan mudah. Beberapa lembaga yang disarankan untuk dihubungi antara lain adalah DAAD yang perwakilannya di Indonesia terdapat di Jakarta. Atau bisa juga langsung mengadakan kontak ke Foreign Students' Office (AAA = Akademischen Auslandsamt) yang terdapat di setiap institute / universitas di Jerman. Karena memang merupakan kewajiban bagi AAA untuk menyelenggarakan hubungan internasional antar perguruan tinggi.

Problematik yang umum dihadapi
Beberapa permasalahan yang umum dihadapi dalam rangka mulai melangkah untuk menambah wawasan baru di dunia yang baru antara lain adalah kurangnya informasi, bahasa dan yang terakhir adalah dukungan finansial. Beberapa rekan pelajar dari berbagai negara berpendapat:
"Studi di Jerman sangat menarik dan penuh tantangan"
"Belajar bahasa Jerman sungguh-sungguh merupakan pengalaman yang sangat menyedihkan buat saya. Sampai suatu saat saya menyadari bahwa saya mulai bisa mengerti apa yang disampaikan professor dalam perkuliahannya"
"Kesempatan untuk bekerja bagi seorang pelajar benar-benar bermanfaat bagi saya. Selain ada tambahan uang saku, juga memungkinkan saya untuk lebih berinteraksi dan mengenal kebiasaan orang-orang Jerman"
Komentar-komentar di atas merupakan pengalaman pribadi dari para pelajar yang telah berhasil menghadapi 'rintangan' pertama di awal studinya di Jerman. Bekal utama adalah tentu saja semangat. Semangat untuk berburu informasi, semangat untuk belajar bahasa dan semangat untuk menggapai cita-cita setinggi langit, meskipun tentunya harus selalu berpijak pada buminya kenyataan.
Cara paling praktis untuk berburu informasi adalah dengan melalui internet. Media virtual ini akan membantu kita mendapatkan semua informasi yang kita perlukan. Beberapa alamat di bawah ini setidaknya akan dapat memberikan gambaran kepada para pendamba tantangan untuk memulai langkahnya.
http://www.daad.de/
http://www.stud.uni-goettingen.de/
http://www.uni-hohenheim.de/
Atau dapat juga langsung menulis email ke Foreign Students' Office (AAA = Akademischen Auslandsamt) dari universitas yang diinginkan seperti misalnya:
RWTH Aachen
Akademisches Auslandsamt
Ahornstraße 55
D-52056 Aachen
e-mail: international@aaa.rwth-aachen.de

Technische Universität Berlin
Akademisches Auslandsamt
Straße des 17.Juni 135
D - 10623 Berlin

Humboldt-Universität Berlin
Akademisches Auslandsamt
Unter den Linden 6
D - 10099 Berlin
e-mail:
doerthe=muecke@verwaltung.hu-berlin.de

Universität Berlin
Akademisches Auslandsamt
Universitätsstraße 25
D - 33615 Bielefeld

Universität Bonn
Akademisches Auslandsamt
Poppelsdorfer Allee 53
D - 53113 Bonn
e-mail:
m.appel@uni-bonn.de

Selain universitas-universitas terkemuka di berbagai kota di Jerman, terdapat juga berbagai sekolah kejuruan (Fachhochschulen), beberapa alamat dari Foreign Students Officers antara lain:
Berlin, Technische Fachhochschule
Akademisches Auslandsamt
Luxemburger Straße 10
D - 13353 Berlin
e-mail:
ausland@tfh-berlin.de

Frankfurt/Main, Fachhochschule
Referat Auslandsbeziehungen
Nibelungenplatz 1
D - 60318 Frankfurt/Main
e-mail:
kuf@aa.fh-frankfurt.de

Göttingen, Private Fachhochschule
Weender Landstraße 3 - 5
37073 Göttingen

München, Fachhochschule
Akademisches Auslandsamt
Lothstraße 34
D - 80335 München
e-mail:
merz@tb.fh-muenchen.de
goeller@tb.fh-muenchen.de

Disamping alamat-alamat tersebut di atas juga terdapat beberapa alamat untuk belajar musik maupun kesenian di berbagai kota di Jerman.
Jika komunikasi sudah terjalin dengan institusi yang diinginkan, dengan sendirinya berbagai pertanyaan tentang studi akan mendapatkan jawabannya. Kendala selanjutnya yang umum terjadi adalah bagaimana melengkapi berbagai administrasi yang diperlukan untuk mendaftar ke institusi yang bersangkutan. Karena biasanya formulir yang disediakan ditulis dalam bahasa Jerman, meskipun disertakan juga terjemahannya dalam bahasa Inggris. Oleh sebab itu janganlah karena kendala bahasa maka cita-cita menjadi tidak terlaksana.
Banyak dan umum terjadi bahwa semangat menjadi berkurang hanya karena ada hal baru yang harus dipelajari dari 'nol'. Setelah beberapa saat lamanya terbiasa dengan struktur yang ada dan kemudian harus memulai sesuatu lagi dari nol, biasanya hanya beberapa orang saja yang berani jalan terus. Padahal tanpa mencoba, darimana seseorang bisa mengukur kemampuannya sendiri ? Demikian juga dengan belajar bahasa Jerman.
Beberapa institusi di Jerman dewasa ini sudah tidak terlalu 'kaku' lagi dalam mensyaratkan bahasa Jerman sebagai bahasa pengantar dalam studi. Beberapa kantor pemerintah, seperti bagian imigrasi, menyediakan pula penterjemah untuk penduduk yang tidak mengerti / kurang paham bahasa Jerman. Studi dapat ditempuh dengan menggunakan bahasa Inggris atau Perancis. Jika memang dirasa perlu dan Supervisor / Professor pembimbing mendapatkan argumentasi yang kuat bahwa tugas akhir akan ditulis dalam bahasa Inggris, maka dengan sendirinya tidak ada masalah lagi dengan persoalan bahasa. Akan tetapi bukan berarti lantas tidak perlu lagi belajar bahasa Jerman. Karena dalam aktivitas sehari-hari (belanja, ke toko buku, ke kantor pos, jalan-jalan, dll), mau tidak mau memerlukan juga penguasaan bahasa Jerman ini.

Persiapan yang perlu dilakukan
Pertama yang perlu dipersiapkan adalah menjalin komunikasi dengan institusi yang diinginkan. Dalam hal ini, kontak komunikasi dapat dilakukan sendiri, atau dapat juga meminta bantuan dari perwakilan DAAD Jakarta. Sehingga dapat diperoleh keterangan yang pasti tentang apa-apa yang diperlukan untuk memulai studi ke Jerman. Meskipun pada umumnya, setiap institusi menghendaki agar dokumen-dokumen diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman dan dilegalisir. Diantaranya yang diperlukan adalah: ijazah SMA, ijazah terakhir pendidikan (ijazah dan transkrip), akte kelahiran dan sertifikat kemampuan berbahasa Jerman (DSH = Deutsche Sprachprüfung für den Hochschulzugang ausländischer Studienbewerber). Bagi yang akan melanjutkan ke post graduate diminta untuk melampirkan research proposalnya. Pada jenjang ini, sertifikat bahasa Jerman dapat dinegosiasikan.
Langkah selanjutnya tentu saja membekali diri dengan pengetahuan tentang bahasa Jerman yang dapat dipelajari melalui kursus-kursus bahasa, baik privat maupun umum. Sertifikat ujian DSH diperlukan bagi pelajar yang akan memulai studinya di universitas. Ujian dapat ditempuh di Institut pendidikan bahasa Jerman Goethe Institut Jakarta, Bandung maupun Surabaya. Masing-masing universitas di Jerman juga menyelenggarakan kursus persiapan ujian DSH, tetapi langkah ini dengan sendirinya memerlukan biaya ekstra.
Biaya dirasakan sebagai kendala lain bagi keinginan untuk melanjutkan studi ke luar negeri. Tetapi jika kita ingin mendapatkan ikan yang besar, tidak mungkin memancing dengan umpan yang kecil. Pengorbanan (baca: investasi) selalu diperlukan pada saat kita memulai suatu usaha. Demikian juga dengan niat untuk menambah wacana baru di dunia pendidikan ini. Tentunya diperlukan biaya juga untuk memulai berburu informasi, mempersiapkan paspor, visa, belajar bahasa dan persiapan-persiapan lain. Upaya yang umum dilakukan adalah dengan mencari beasiswa. Untuk ini DAAD merupakan keyword yang tepat, meskipun bukan berarti bahwa tanpa DAAD maka studi ke Jerman hanyalah impian. Beberapa institusi dapat juga mengupayakan tambahan dana belajar seperti misalnya, World Bank. DAAD menyediakan buku panduan tentang "Scholarships and Funding" yang diterbitkan baik dalam bahasa Jerman maupun bahasa Inggris.
Alternatif lain adalah dengan biaya sendiri. Pelajar di Jerman mempunyai hak untuk bekerja selama 3 bulan dalam setahun. Biasanya kesempatan ini dimanfaatkan untuk bekerja 'part timer' di sela-sela waktu kuliah. Alternatif lain adalah ikut serta pada proyek-proyek professor yang biasanya memerlukan tenaga tambahan baik sebagai laboran maupun tenaga trampil.
Masih banyak lagi persiapan-persiapan yang perlu dilakukan sebelum memulai studi ke luar negeri. Seperti misalnya, mempersiapkan tempat tinggal, pengurusan asuransi, perbankan, ijin mengemudi, kebiasaan sehari-hari penduduk Jerman, dimana berbelanja sembako dll yang tidak mungkin disampaikan dalam waktu singkat pada kesempatan ini. Detail informasi dapat diperoleh melalui publikasi-publikasi yang diterbitkan oleh DAAD diantaranya:
Living and Studying in Germany
Studying in Germany :
- Information for Foreign Students on Universities
- Information for Foreign Students on the Fachhochschulen
- Information for Foreign Students on Colleges of Art and Music
Study Preparation at Germany's "Studienkollegs"
Sommerkurse in Deutschland, Sprache, Literatur, Landeskunde, Musik (hanya dalam bahasa Jerman).
Degree Courses at Institutions of Higher Education in the Federal Republic of Germany
Postgraduate Courses at Institutions of Higher Education in the Federal Republic of Germany
Deutsch als Fremdsprache an den Hochschulen und Studienkollegs in Deutschland: Die Sprachlehrangebote (hanya dalam bahasa Jerman).

Kajian Kualitas Ampas Teh yang Difermentasi Menggunakan Aspergillus niger dengan Lama Pemeraman yang Berbeda

Oleh

C.I. Sutrisno, R.I. Pujaningsih, S. Sumarsih
Lab Teknologi Makanan Ternak, Fakultas Peternakan UNDIP


Abstrak

Penelitian bertujuan untuk memanfaatkan ampas teh sebagai alternatif pakan berserat yang potensiil bagi ternak ruminansia. Fermentasi ampas teh dengan menggunakan Aspergillus niger sebagai inokulum dicobakan pada penelitian ini untuk mengkaji kualitas nutrisi dari ampas teh. Parameter yang diamati adalah komponen proksimat dan kadar tannin. Rancangan Acak Lengkap dengan 4 perlakuan lama pemeraman (0, 2, 4, 6 minggu) digunakan untuk mendapatkan data. Data diolah menggunakan sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji wilayah ganda Duncan serta uji regresi. Kesimpulan yang diperoleh menunjukkan bahwa fermentasi ampas teh dengan Aspergillus niger berpengaruh nyata meningkatkan kualitas nutrisi dan menurunkan kadar tanin. Perlakuan terbaik pada lama pemeraman 2 minggu.

Kata kunci: ampas teh, fermentasi, Aspergillus niger, komponen proksimat,
tanin

The quality study of tea waste product which was fermented by using Aspergillus niger on the different length of processing

by

C.I. Sutrisno, R.I. Pujaningsih, S. Sumarsih
Lab of Technology and Feed Industry
Faculty of Animal Agriculture, Diponegoro University

Abstract

Research’s aim to take advantage of the tea waste product as an alternative potensiil feed livestock. Fermentation process of tea waste product by using Aspergillus niger as inokulum was tried at this research to study the nutrition quality from fermented tea waste product.. Parameter measured is component of proximat and rate of tannin. Random Device Complete with four treatment of the length fermentation processing ( 0, 2, 4, 6 week) used to get the data. Data were processed by using ANOVA and continued with Duncan test and also regresion test. Conclusion obtained indicate that the fermentation of tea waste product by Aspergillus niger have an effect on the reality improve of the nutrition quality and degrade the rate of tanin. The best treatment was reached at two weeks of fermentation process.

Keywords: tea waste product, Aspergillus niger, fermentation, tannin, proximat
component.

Developing Bullfrog (Rana catesbeiana) Cultivation as an Alternative of Prospective Entrepreneurship

By
Retno Iswarin Pujaningsih
Siswanto Imam Santoso
Faculty of Animal Agriculture, Diponegoro University

Abstract

Bullfrog (Rana catesbeiana) is a very potential species to extend because its cultivation does not require large area and it has also a good chance to become a prospective export commodity. Besides, protein content of frog’s meat is high enough as the source of meat protein (17%) with low level content of fat (0,3%). The demand of frog’s meat from domestic and foreign countries can not be supplied only by the Indonesian local frogs because they were diminishing. As an alternative, the exporter must cultivate Bullfrog. This condition will provide a chance of new alternative and prospective entrepreneurship for them who can not continue their study and also for unemployed people. In Indonesian, Bullfrog cultivation was done by very limited farmers because of some problems on its intensification. The type of collaboration between the local governments and the Institution of Education (Universities, Vocational School) was trying to find and solve these problems. In the future, socialization of the solution was aimed to motivate the entrepreneurship of doing Bullfrog cultivation. Survey was identified that Bullfrog’s cultivation has to face problem of low production because of high mortality and high fluctuation of the product’s price. Introduction of natural feed addition (increasing 10% of feed protein) can be hoped to solve the low productivity which caused by the lack of good quality and quantity of feed. The addition of vitamins during feed formulation proved the increasing of fertility and survival rate of the frog (decreasing 10-15% of mortality). Modifying of marketing management include the level of profitable farm, type of farm’s integration (nucleus-plasma model) and rotating of marketing products will make an improvement of product price fluctuation’s. Furthermore, Bullfrog cultivation is feasible to do on the level of 10.000 of frogs per period of production with 40% pessimistic scale of mortality. The result of feasibility study (ROI, payback period, NPV, BC Ratio are 72,64%; 1,19 year; positive and 1,95; respectively) presented that Bullfrog cultivation is a profitable business.


Keywords: Bullfrog Cultivation, Entrepreunership, profitable business

The Evaluation of Sorghum as the Substitute for Corn in the diet of the Growth's Indigenous Chicken

(Evaluasi Penggunaan Sorghum sebagai Pengganti Jagung
dalam Ransum Ayam Buras Persilangan (F1) Periode Pertumbuhan)

by

R.I. Pujaningsih1, Soelistyono, H.S(1, Wiloeto, D(2
1) Academic Staff of Animal Agriculture Faculty, Diponegoro University
2) Researcher of Sub Balai Penelitian Ternak Klepu, District of Semarang

Abstract

This paper outlines the effect of sorghum as the substitute for corn in the diet of 64 local indigenous chicken growers (F1 between local female chicken x male layer final stock) by the age of 2 months. The research was conducted in the poultry research cage of Sub Balai Penelitian Ternak Klepu, Kabupaten Semarang. Treatments were arranged in phases of R1: 45% corn without sorghum, R2: 30% corn + 15% sorghum, R3: 15% corn + 30% sorghum and R4: 45% sorghum without corn. Basal feed was précised as iso calorie (ME = 2.700 kcal/Kg) and iso protein (protein = 15%). Average daily gain, feed consumption and feed conversion ratio were observed as parameters. Completely randomized design was employed through the experiment. Data were subjected to ANOVA using the general models procedure of SAS, T-test was used for further analysis. The result presented, the substitution of corn with sorghum was not significantly (P>0, 05) affect to the average of daily gain, feed consumption and feed conversion ratio of the birds. So, it can be concluded that sorghum can be used to substitute corn until 45% of the poultry’s diet.

Keywords : corn, sorghum, local indigenous chicken

Abstrak

Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan sorghum sebagai bahan baku ransum pengganti jagung pada ransum ayam buras persilangan (F1) periode pertumbuhan. Pelaksanaan dilakukan di kandang penelitian unggas Sub Balai Penelitian Ternak Klepu, Kabupaten Semarang. Materi yang digunakan adalah 64 ekor ayam buras persilangan filial 1 (betina buras x jantan ras petelur final stock) umur 2 bulan. Perlakuan yang diberikan adalah subtitusi jagung dengan sorghum secara bertahap yaitu R1: 45% jagung tanpa sorghum, R2: 30% jagung + 15% sorghum, R3: 15% jagung + 30% sorghum, R4: 45% sorghum tanpa jagung. Ransum disusun secara iso kalori (ME = 2.700 kkal/Kg) dan iso protein (protein = 15%). Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 4 perlakuan ransum serta 4 ulangan. Parameter yang diamati meliputi pertambahan bobot badan, konsumsi ransum dan konversi ransum. Data dianalisis dengan analisis keragaman dan uji beda nyata terkecil bila terdapat perbedaan akibat pengaruh perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggantian jagung dengan sorghum sebagai bahan baku utama ransum tidak memberikan perbedaan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap konsumsi ransum, pertambahan bobot badan maupun konversi ransum. Kesimpulan penelitian menunjukkan bahwa sorghum dapat digunakan sebagai bahan baku pengganti jagung dalam ransum ayam buras persilangan (F1) periode pertumbuhan.

Kata kunci : jagung, sorghum, ayam buras persilangan

Fermentation of Rice Bran to Decrease Phytate-Phosphorus by Using Rumen Liquor

by
R. I. Pujaningsih
Department of Animal Nutrition and Feed Science,
Faculty of Animal Agriculture Diponegoro University

Abstract

Rice bran as the source of P for the monogastric animals has the highest levels of phytate. Monogastric animals, such as pigs, poultry and fish, utilize this source of phosphate poorly at the best, lacking the requisite gastrointestinal tract enzyme(s) for release of the phosphate from the organic complex of phytate. By the way, phytate phosphorus has been considered to be absorbed easily in ruminant because of microbial phytase degradation in the rumen. Knowing that rumen content at slaughterhouses presents a serious disposal problem, this study would try to use it. The aim of this study is to decrease phytate phosphorus from rice bran by using rumen liquor and following to increase phosphorus supply in poultry diets. The experimental design was selected to compare the effects of rumen liquor levels on the fermentation process. Besides, it is used also to find the best treatment and time of the fermentation. Factorial model based on completely (block) randomized design was employed through out the experiment. Two factors have been evaluated (i) the level of rumen liquor's addition (15; 30 and 45%), and (ii) the length of fermentation (0;2;4; and 6 days). Data were subjected to ANOVA using the general models procedure of SAS. Duncan and Orthogonal test was used for further analysis with level probability of 95 % and 99 %. The result of this study presented that fermentation process which used rumen liquor would slightly decreased after the fourth day of incubation period. A longer incubation period would give no further effects to the phytase activity and phytate phosphorus degradation. Compare to the standard (the use of microbial phytase), the results of mixture used 45% of rumen liquor showed relatively low.

The Activity of Phytase to Increase Phosphorous Availability on the Fermentation of Rice Bran by Using Rumen Liquor

AKTIFITAS ENZIM FITASE DALAM UPAYA PENINGKATAN KETERSEDIAAN FOSFOR PADA FERMENTASI DEDAK PADI
DENGAN CAIRAN RUMEN

R. I. Pujaningsih
Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro Semarang

ABSTRAK

Dedak padi sebagai salah satu sumber fosfor bagi ternak monogastrik memiliki kandungan fitat yang tinggi. Ketidakmampuan unggas untuk memanfaatkan fosfor yang terikat pada fitat menyebabkan mineral tersebut terbuang bersama ekskreta dan dapat mencemari lingkungan. Berlainan dengan rumiansia, fitat mampu didegradasi dengan baik pada saluran pencernaannya karena adanya mikrobia yang dapat menghasilkan enzim fitase. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi aktifitas enzim fitase pada dedak padi yang difermentasi dengan cairan rumen. Rancangan acak lengkap dengan pola faktorial digunakan pada penelitian ini dengan faktor I adalah level penambahan cairan rumen (15, 30 dan 45%) dan lama fermentasi (0, 2, 4 dan 6 hari) sebagai faktor II. Data dianalisis dengan sidik ragam dan jika terdapat pengaruh perlakuan akan dilanjutkan dengan uji Duncan. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa interaksi perlakuan penggunaan cairan rumen dan lama fermentasi berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap aktifitas enzim fitase. Aktifitas maksimal enzim fitase diperoleh pada kombinasi perlakuan penggunaan cairan rumen 30% dari BK dedak padi dan lama fermentasi 2 hari. Periode fermentasi selanjutnya tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap aktifitas enzim fitase maupun degradasi dari fitat-fosfor.

Kata kunci : dedak padi, aktifitas fitase, ketersediaan fosfor, cairan rumen,
fermentasi

ABSTRACT

Rice bran as one of the source of phosphorous for the monogastric animals has the highest levels of phytate. The inability of poultry to utilize phytate P necessitates the dietary addition of inorganic P; this adds to increased feed costs, increases P excretion, and creates an environmental contaminant By the way, phytate phosphorous has been considered to be absorbed easily in ruminant because of microbial phytase degradation in the rumen. This study would try to use rumen liquor as starter for fermentation processing of rice bran. The aim of this study is to evaluate the activity of phytase on the fermented rice bran. Factorial model based on completely (block) randomised design was employed through out the experiment. Two factors have been evaluated (i) the level of rumen liquor's addition (15; 30 and 45%), and (ii) the length of fermentation (0;2;4; and 6 days). Data were subjected to ANOVA using the general models procedure of SAS. Duncan and Orthogonal test was used for further analysis. The results indicated the interaction between these two factors. Maximal activity of phytase was reached on the addition of 30% rumen liquor to the rice bran within 2 days of fermentation process. A longer incubation period would give no further effects to the phytase activity and phytate phosphorus degradation.

Keywords : rice bran, phytase activity, phosphorous availability, rumen liqour,
fermentation

Kajian Kualitas POD Kakao yang Diamoniasi dengan Aras Urea yang Berbeda

oleh:
Pujaningsih, R.I., Sutrisno, C. I., Sumarsih, S.
Laboratorium Teknologi dan Makanan Ternak
Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro

Abstrak

Potensi produksi hasil samping perkebunan kakao (pod kakao) terus meningkat sejalan dengan meningkatnya produksi biji kakao di Indonesia. Penelitian bertujuan untuk mengkaji pengaruh aras urea pada proses amoniasi pod kakao terhadap kualitas fisik-organoleptik, produksi “volatile fatty acids” (VFA) dan konsentrasi amonia (NH3). Penelitian dilaksanakan bulan Januari-Maret 2005 di Laboratorium Teknologi Makanan Ternak dan Laboratorium Ilmu Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang. Rancangan acak lengkap dengan lima perlakuan penambahan aras urea (0, 3, 6, 9 dan 12%) dan tiga kali ulangan digunakan pada penelitian ini. Data dianalisis ragam dilanjutkan uji wilayah ganda Duncan untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan dan uji polinomial ortogonal untuk mengetahui aras urea yang optimal. Parameter yang diamati adalah produksi VFA, konsentrasi NH3 dan sifat fisik organoleptik. Produksi VFA dan konsentrasi NH3 pod kakao amoniasi dengan aras urea berbeda masing-masing adalah 65,75; 77,67; 81,83; 85,25; 83,75 mM dan 2,77; 4,01; 6,16; 9,21 dan 12,47 mM. Uji polinomial ortogonal untuk produksi VFA menghasilkan titik optimal pada aras urea 9,69% dan produksi VFA sebesar 85,91 mM. Uji polinomial ortogonal untuk konsentrasi NH3 mengikuti persamaan Y = 2,7 + 0,35X + 0,038X2 (R2 = 0,98). Nilai pH sebelum dan sesudah amoniasi masing-masing adalah 6 dan 8-9 pada kisaran suhu 28-30°C. Perlakuan aras urea yang berbeda berpengaruh sangat nyata (p<0,01) meningkatkan bau khas ammonia menjadi semakin tajam, meminimalkan keberadaan jamur, meningkatkan keremahan tekstur dan memekatkan warna coklat yang terbentuk. Kesimpulan penelitian adalah amoniasi menggunakan urea dapat meningkatkan kualitas nutrisi pod kakao yang ditunjukkan dengan meningkatnya produksi VFA, konsentrasi NH3 serta sifat fisik organoleptiknya.

Kata kunci: fisik organoleptik, pod kakao, amoniasi, VFA, NH3

STUDYING THE QUALITY OF CACAO POD WHICH WAS AMMONIATED
WITH DIFFERENT LEVEL OF UREA

by
Pujaningsih, R.I., Sutrisno, C. I, Sumarsih, S.
Laboratoryof Technology and Feed Industry
Faculty of Animal Science, Diponegoro University

Abstract

Production of cacao’s waste product (cacao pod) was increasingly in line with the increasing of cacao production in Indonesia. Research’s aim to study the influence of urea level at cacao pod amoniation process to quality of physical organoleptic, production of volatile fatty acids (VFA) and ammonia concentration (NH3). Research was done from January until April 2005 at laboratory of Technology and Feed Industry and laboratory of Animal Nutrition and Feed Science, Faculty of Animal Science, Diponegoro University. Randomized completely device with five urea’s level addition (0, 3, 6, 9 and 12%) as treatments and three replications were used in this research. Data were analyzed by ANOVA and continued by Duncan test and polynomial orthogonal test. Parameter observed is VFA’s production, concentration of NH3 and quality of physical organoleptic. VFA’s production and concentration of NH3 from ammoniated cacao pod are 65,75; 77,67; 81,83; 85,25; 83,75 mM and 2,77; 4,01; 6,16; 9,21 and 12,47 mM, respectively. The polynomial orthogonal test to the VFA’s production yield the optimal point at urea’s level of 9,69% and produce the VFA of 85,91 mM. The polynomial orthogonal test for the concentration of NH3 follow the equation Y = 2,7 + 0,35X + 0,038X2 (R2 = 0,98). pH’s value before and hereafter ammoniation are 6 and 8-9 at temperature of 28-30°C, respectively. The different level of urea significantly effects (p<0,01) the improving of typical ammonia’s aroma to become progressively sharply, minimization of fungi existence, improving crumb texture and sharpen the brown colour. Research’s conclusion showed that ammoniation by using urea can improve the quality of cacao pod nutrition posed at the height of VFA’s production, concentration of NH3 and also the quality of physical organoleptic.

Key words: physical organoleptic, cacao pod, ammoniation, VFA, NH3

Saturday, May 06, 2006

Seaweed for Animal Feed



Evaluation of Nutrition and Organoleptic Physical Quality for Pellet Using
Some Levels of Seaweed (Sargassum sp)


by

R. I. Pujaningsih, S. Sumarsih, BIM. Tampoebolon
(Lab. of Technology and Feed Industry,
Faculty of Animal Husbandry, Diponegoro University)


Abstract

Seaweed represent as one of nature resource which not exploited in an optimal fashion yet. Sargassum sp has permanent potential upon feed as carbohydrate source. This research aim to study the influence of using some Sargassum sp.’s level toward pellet by combining conditioning and non-conditioning method headed for nutrition’s quality and organoleptic physical quality. Yellow corn, rice bran, oil cake coconut, oil cake soy, fish meal, seaweed (Sargassum sp) and premix were used for pellet composing. Factorial model based on completely (block) randomized design was employed through out the experiment. Two factors have been evaluated (i) the level of Sargassum sp’s addition (0; 5; 10 and 15%), and (ii) the method of pellet composing (conditioning and unconditioning). Data were subjected to ANOVA. Duncan and t-test was used for further analysis. Parameter observed including proximate component, durability, colour and texture of pellet. The results show the existence of real interaction (p<0,05) among treatments to the content of dry matter, ash, crude protein, crude fiber and Nitrogen of Free Extract. The increasing of nutrient quality presented by the content of dry matter, ash, crude fat and Nitrogen of Free Extract. Furthermore, the content of crude fiber and crude protein were significantly decreasing (p<0,05). Use of Sargassum sp toward pellet yield the brown to black colour, medium to harsh texture with 86,67; 89,16 and 91,41% level of durability. While control yield light brown colour, fine texture by 92,52% durability level. Conclusion indicates that the use of Sargassum sp may not be able to improve the quality of organoleptic physical yet. The evaluation of nutrition quality concluded the increasing of dry matter content, ash, crude fat and Nitrogen of Free Extract while crude protein and crude fiber content decreasing.

Keywords: pellet quality, seaweed, nutrient evaluation, organoleptic physical

ANOA (Bubalus sp)


IDENTIFICATION OF NATURAL FEED OF ANOA (Bubalus sp.)
IN ADVANCE OF WILDLIFE CONSERVATION

by
Pujaningsih, RI
Department of Animal Nutrition and Feed Science, Fac. of Animal Husbandry,
Diponegoro University Semarang, Central Java, Indonesia
E-mail: retnoip@telkom.net Fax.: +62 24 7474750 Telephone: +62248319308

Abstract



The decreasing of Anoa’s territory has reduced the feed availability in natural habitat. Thus any information related to natural feed and its alternatives for Anoa is valuable. This study was aimed to determine the composition of natural feed and the nutrient content of each plant to find its alternatives. The outcome of this research is to give basic information concerning the conservation and captivation of Anoa as an endemic and endangered animal in Sulawesi. Research was performed as field research at Zona National Lore Lindu Park of Rain Forest in Central Sulawesi and laboratory research in the laboratory of Forage Science, Animal Nutrition and Feed Science Department, Faculty of Animal Husbandry, Diponegoro University. The research was conducted from March to November 2004. Thirty sample plots were made by the size of 10x10 m. Nutrition content of the vegetation was analyzed by proximat analysis. Density and the amount of vegetation were determined by Odum’s method. The results indicated that there are eleven plants which were desirable by Anoa: Areca sp, Elatostema sp, Rubus sp, Zingiber sp, Nephrolepis sp, Cyrtandra sp, Begonia sp, Eragrostis sp, Saccharum sp, Homalomena sp, Paspalum conjugatum. Elatostema sp were found frequently in the centre-side area of the Park. Rubus sp, Zingiber sp, Nephrolepis sp, Begonia sp and Homalomena sp classified as rarely seen in this field research. Concerning to their nutrient content, it can be concluded that Anoa is well adapted to the feed which contain high crude fiber content (20-45%) and relatively low protein content (5-13%). So, Anoa can be fed by some alternative vegetation which at least has equivalent quality. Anoa’s vegetation feed consists of plants which can be cultivated easily. A good socialization about Anoa’s feed cultivation is expected to increase the economic growth for resident who lives around tropical forest and also preventing the resident from opening the protected forest and hunting the Anoa wildly.

Keywords: endemic, endangered, forage, crop

Notes