Friday, June 15, 2007

Melestarikan yang Bermanfaat dan Memanfaatkan yang Lestari

R.I. Pujaningsih

Pendahuluan


Keanekaragaman hayati merupakan bagian dari komponen yang secara ekologis berperan sebagai penentu keseimbangan ekosistem yang penting bagi kehidupan, terutama dalam penyediaan kebutuhan keanekaan bahan hayati dan penyediaan jasa lainnya. Dengan demikian keanekaragaman hayati merupakan salah satu penopang utama kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia. Keanekaragaman hayati adalah keadaan beragamnya ekosistem, jenis dan variabilitas genetika binatang, tumbuh-tumbuhan dan mikroorganisme yang hidup. Setiap individu organisme mengandung ribuan gen dengan kombinasi yang unik, sementara jenis atau spesies terdiri dari banyak organisme. Ekosistem merupakan kumpulan dari banyak spesies yang berinteraksi satu sama lainnya dan dengan lingkungan fisik.

Pelestarian keanekaragaman hayati menjadi sangat penting demi pemanfaatannya secara benar dan berkelanjutan. Kenyataannya sekarang pelestarian tersebut masih belum terlaksana dengan baik, mengingat ancaman yang dihadapi sangat rumit dan sangat sulit di atasi. Di antaranya adalah pengaruh perubahan iklim, eksploitasi yang berlebihan atau kegiatan yang mengakibatkan kerusakan fisik penopang kehidupan, pencemaran, kehadiran spesies asing yang invasif, dan kegiatan pembudidayaan yang tidak disertai upaya yang menjamin kelestarian berbagai varietas dari spesies yang dibudidayakan. Untuk mendukung tercapainya pembangunan nasional secara berkelanjutan, para pengambil keputusan dan pihak terkait lainnya perlu lebih meningkatkan upaya pemanfaatan keanekaragaman hayati secara lestari, upaya pengembangan nilai manfaat pengelolaan konservasi, dan meningkatkan kesadaran serta peran masyarakat.
Kebijakan pemerintah yang dijadikan panduan komprehensif untuk mendukung tercapainya pembangunan berkelanjutan antara lain Undang-Undang No. 5 Tahun 1994 yang merupakan ratifikasi dari Konvensi Keanekaragaman Hayati (KKH). Pengelolaan keanekaragaman hayati sesuai Undang-Undang ini diarahkan pada komitmen Indonesia untuk melaksanakan tiga tujuan pokok KKH, yaitu konservasi, pemanfaatan komponen keanekaragaman hayati secara berkelanjutan, dan pembagian keuntungan dari hasil pemanfaatannya secara adil, yang diharapkan dapat dilaksanakan oleh para pihak. Oleh karena itu untuk mewujudkan dan memfasilitasi pelaksanaan tujuan tersebut, pemerintah telah menyusun strategi dan rencana aksi nasional yang diharapkan menjadi acuan dalam pemanfaatan secara berkelanjutan oleh semua sektor dan pemangku kepentingan.
Salah satu kebijakan yang dilaksanakan pemerintah dalam rangka pencapaian tujuan KKH adalah konservasi in-situ dan konservasi eks-situ. Program konservasi in-situ diarahkan pada usaha terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistem melalui kegiatan perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya tersebut melalui pencadangan kawasan yang telah ditentukan oleh pemerintah. Konservasi eks-situ merupakan konservasi komponen keanekaragaman hayati di luar habitat alaminya.
Indonesia merupakan negara tropis pertama di dunia yang mempunyai kawasan lindung yang berfungsi sebagai sarana in situ, sebagai upaya melindungi ekosistem atau habitat alami untuk konservasi keanekaragaman species dan genetik. Taman Nasional merupakan kawasan pelestarian alam in situ. Tujuan konservasi ex situ adalah untuk melestarikan flora dan fauna di luar habitat alaminya, pelestariannya dilakukan di Kebun Raya, Kebun Binatang dan Arboreta.
Koleksi plasma nuftah amat berharga bagi pemuliaan tanaman dan ternak, serta untuk mengembangkan produk-produk baru misalnya obat-obatan. Koleksi ex-situ mengalami berbagai masalah antara lain kekurangan dana, fasilitas dan tenaga terlatih. Sebagai contoh berbagai balai atau pusat penelitian tidak mempunyai fasilitas penyimpanan jangka panjang sehingga koleksi harus sering direjuvenasi (ditanam atau ditangkar ulang). Anggaran penelitian untuk karakterisasi plasma nuftah juga relatif terbatas. Penggalangan dana dengan pihak-pihak penyandang dana harus diupayakan tanpa mengurangi maksud dan tujuan pihak-pihak yang berkepentingan.

Potensi


Luas sumberdaya hutan berdasarkan hasil pemaduserasian Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) adalah 120,35 juta ha atau sekitar 62,6% dari luas daratan Indonesia. Di dalam kawasan hutan tersebut terkandung keanekaragaman hayati yang melimpah sehingga Indonesia juga dikenal sebagai mega-biodiversity country. Dalam skala dunia, Indonesia tercatat sebagai negara yang memiliki keanekaragaman spesies tertinggi untuk mamalia (515 spesies, 36% endemik), kupu-kupu ”swalllow tail”/sayap burung (121 spesies, 44% endemik), ketiga untuk reptilia (lebih kurang 600 spesies), keempat untuk burung (1519 spesies, 28% endemik), kelima untuk amphibia (270 spesies) dan ke tujuh untuk tumbuhan berbunga (BAPENAS, KLH dan World Bank, 1991). Sejauh ini manfaat keragaman hayati tersebut belum mendapat porsi perhatian yang seharusnya.
Sulawesi merupakan pulau besar terpenting yang terdapat di kawasan Wallacea, suatu wilayah unik di dunia tempat bercampurnya tumbuhan dan binatang dari Asia dan Australia (kawasan peralihan antara Asia dan Australia). Secara biogeografis kawasan ini merupakan daerah peralihan antara Zona Asia dan Zona Australia atau kita kenal dengan Garis Wallace (Wallace Line). Menurut hasil ekspedisi Alfred Russel Wallace tahun 1850-an bahwa flora dan fauna yang terdapat pada kawasan ini banyak yang unik dan spesifik (Whitten, et al.,1987; Kinnaird, 1997). Keunikan flora dan fauna di Sulawesi dipengaruhi oleh lokasi geografi Sulawesi yang special di Asia Tenggara. Pulau-pulau Kalimantan, Sumatera dan Jawa diperkirakan pernah bersatu dengan dataran utama Benua Asia pada akhir periode Glasial sedangkan Sulawesi terisolasi dari pulau-pulau lain dan juga dari Papua New Guinea.
Di Pulau Sulawesi, Wallace Line membentang dari Taman Nasional Nani Wartabone di Bolaangmongondou-Gorontalo (Sulut) hingga ke Donggala-Poso melintasi hutan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) dan terus sampai ke hutan-hutan tropis di Kendari, Sultra. TNLL seluas 229.000 hektare itu merupakan taman hutan rimba yang tergolong langka di abad ini. Karena kelangkaannya, kawasan ini telah diklaim menjadi milik dunia. Para peneliti asing yang pernah melakukan studi di hutan TNLL menjulukinya sebagai "paru-paru dunia" yang sangat berpengaruh bagi kehidupan manusia. TNLL juga dianggap "laboratorium alam" dunia bagi pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, budi daya, rekreasi dan pariwisata.
Sebagai kawasan hutan di zona transisi, TNLL memiliki potensi flora, fauna, dan ekosistem yang sangat spesifik pula. Di kawasan ini terdapat 266 jenis flora yang hidup pada ekosistem danau, padang rumput, dataran rendah pegunungan dan sub alpin. Beberapa jenis tumbuhan kayu langka terkenal adalah kayu cempaka (manglietia sp), kayu leda (eucaliptus deglupta), jenis rotan (calamus sp), jenis-jenis damar (agathis sp) dan beringin merah (litsea sp). Sedangkan fauna, tercatat ada 200 jenis, dan 37 jenis di antaranya termasuk fauna yang dilindungi sedangkan 163 jenis belum dilindungi. Jenis satwa liar yang penting dan endemik Sulawesi terdapat dalam hutan TNLL, seperti misalnya anoa (bubalus quarlesi dan bubalus deppressicornis), rusa (cervus timorensis), babi rusa (babyrousa baburussa), kus-kus (phalanger celebensis dan phalanger ursianus), monyet hitam (macaca tonkeana), musang coklat (macrogalidia musschenbroeki), singapuar (tarsius spectrum) dan maleo (macrocephalon maleo). Selain potensi flora-fauna, di kawasan TNLL terdapat batuan megalith (batu besar pra sejarah) berbagai corak dan tipe di Lembah Bada, Besoa, dan Napu. Kawasan ini dihuni Suku Kulawi dan Lore dengan adat istiadatnya yang masih asli.

Pentingnya Kegiatan Konservasi

Jenis-jenis endemik terbentuk karena adanya habitat yang spesifik. Jenis-jenis tersebut hanya terdapat pada habitat dimana mereka terbentuk dan hanya mampu beradaptasi dengan karakteristik habitat tersebut. Apabila habitatnya mengalami perubahan secara drastis (misalnya oleh adanya polusi, konversi lahan, fragmentasi habitat, dll), jenis-jenis endemik sering tidak mampu beradaptasi mengikuti perubahan tersebut. Dalam kondisi seperti ini, jenis-jenis endemik akan mengarah pada kepunahan. Dengan kata lain, jenis-jenis endemik mudah mengalami kepunahan apabila habitatnya terganggu.
Kemampuan adaptasinya yang lemah tidak saja terjadi terhadap perubahan habitat, tetapi juga dalam hal beradaptasi dengan jenis-jenis baru. Karena tidak terbiasa hidup berkompetisi, jenis-jenis endemik akan mengalami tekanan apabila ke dalam habitatnya diintroduksi jenis-jenis dari habitat lain yang memanfaatkan sumberdaya yang sama dengan jenis endemik tersebut. Keberadaan jenis-jenis kompetitor akhirnya akan secara lambat laun menyingkirkan posisi jenis-jenis endemik.
Pada umumnya jenis-jenis endemik juga kurang atau bahkan tidak terbiasa hidup dengan predator, sehingga dia tidak memiliki kemampuan untuk menyelamatkan diri dari predator. Apabila ke dalam habitatnya diintroduksi predator maka dalam waktu singkat populasi jenis endemik akan habis. Sama halnya dengan predator, penyebarannya yang terbatas menyebabkan jenis-jenis endemik juga tidak terbiasa dengan patogen yang berasal dari habitat lain. Kedatangan jenis-jenis introduksi yang membawa patogen baru ke habitat dimana jenis-jenis endemik berada dapat menimbulkan wabah yang memusnahkan jenis-jenis endemik.
Pemaparan tersebut di atas menunjukkan betapa jenis-jenis endemik memiliki resiko kepunahan yang sangat tinggi, sehingga pengelolaannya perlu dilakukan secara sangat hati-hati. Sebagian besar jenis endemik Wilayah Wallacea sekarang tercatat dalam I dan II appendix (Soehartono dan Mardiastuti, 2003). Dengan tercantumnya beberapa jenis dalam appendix I berarti jenis-jenis tersebut tidak dapat diperdagangkan secara international. Adapun tercantumnya jenis-jenis dalam appendix II menunjukkan bahwa, walaupun saat ini belum mengalami ancaman kepunahan, jenis-jenis tersebut dapat terancam punah apabila perdagangannya tidak diatur sedemikian rupa untuk menjaga kelestariannya.

Tercantumnya sejumlah jenis flora dan fauna Wilayah Wallacea dalam appendix CITES menunjukkan betapa kelestarian jenis-jenis flora dan fauna di wilayah ini sangat memprihatinkan. Dengan tercantumnya di dalam appendix CITES berarti pemanfaatan jenis-jenis tersebut menjadi sangat terbatas. Namun demikian, bukan berarti bahwa jenis tersebut tidak dapat dimanfaatkan untuk selamanya. Kapan saja populasinya di alam dapat dipulihkan kembali, maka statusnya dalam appendix CITES dapat diturunkan atau malah dicabut dari appendix tersebut. Oleh karena itu, tindakan yang penting dan mendesak untuk dilakukan adalah langkah-langkah konservasi untuk memulihkan populasinya.
Langkah-langkah konservasi bukan saja perlu dilakukan terhadap jenis-jenis yang telah tercantum dalam appendix CITES, melainkan juga terhadap jenis-jenis yang belum tercantum. Hal ini karena jenis-jenis yang sekarang belum tercantum dalam appendix CITES dapat sewaktu-waktu dicantumkan apabila populasinya terus menurun sehingga dikhawatirkan punah. Walaupun secara harfiah kata konservasi berarti menjaga bersama-sama (berasal dari dua kata dalam Bahasa Latin: con = bersama-sama, servar = menjaga), namun konservasi bukanlah berarti tidak boleh memanfaatkan. Konsep konservasi moderen tidak mengartikan konservasi sebagai tidak boleh memanfaatkan, melainkan memanfaatkan secara berkelanjutan. Melalui pemanfaatan berkelanjutan diharapkan kelestarian jenis-jenis akan tetap terjaga.

Peluang


Hutan sebagai sumberdaya alam harus dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat seperti dimandatkan dalam pasal 33 UUD 1945. Dasar hukum pemanfaatan hutan tersebut di Indonesia bertumpu pada makna pasal 33 ayat 3 yang ditujukan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Undang Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan – ketentuan Pokok Kehutanan bermaksud menerapkan tujuan tersebut melalui pendekatan timber management tetapi sayangnya tidak mengakomodir suatu pola pengelolaan yang bersifat menyeluruh dalam forest management atau ecosystem management yang mengakomodasi juga aspek sosial budaya maupun ekonomi dan kelestarian lingkungan yang berkelanjutan.
Aspek sosial budaya seringkali ditempatkan pada posisi ke sekian pada upaya pemanfaatan/konservasi wilayah. Dalam upaya mempertahankan kelestarian kawasan-kawasan konservasi di Tanah Air, pemerintah perlu melakukan perubahan mendasar, yakni mengubah paradigma pengelolaan kawasan terkait dari pendekatan deregulatif (aturan-aturan larangan) menjadi pendekatan sosial pemanfaatan secara berkelanjutan. Perubahan paradigma ini dinilai sangat penting mengingat masyarakat yang tinggal di dan sekitar kawasan konservasi juga harus tahu manfaat yang bisa didapatkannya jika lingkungan itu dijaga kelestariannya. Mereka tidak bisa lagi hanya diberi penegasan bahwa kawasan konservasi itu terlarang untuk mereka kelola secara langsung. Diberbagai tempat di Indonesia berlaku hukum adat, antara lain tentang pembukaan hutan untuk usaha perladangan dan pertanian lainnya, penggembalaan ternak, pemburuan satwa liar dan pemungutan hasil hutan, serta di berbagai areal hutan dikelola secara lestari oleh masyarakat hukum adat sebagai sumber kehidupannya dengan segala kearifannya. Di Sulawesi Tengah, tepatnya di sekitar kawasan Taman Nasional Lore Lindu (TNLL), dijumpai pula beberapa komunitas lokal, yang secara konsisten, menerapkan sejumlah kearifan tradisional dalam mengelola interaksi antara manusia dengan lingkungan alaminya.
Satu diantaranya adalah komunitas adat Toro. Di tahun 2001, Toro secara resmi diberi otonomi pada taraf tertentu dalam perencanaan, pemantauan, dan pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan hutan. Pengakuan tersebut berimplikasi pula terhadap wewenang yang dimiliki lembaga adat dalam mengatur sistem-sistem penguasan lahan (land tenurial system) dan pengelolaan (management system) sumberdaya hutan di wilayah kelola adatnya. Desa ini adalah satu-satunya desa di sekitar TNLL yang telah merevitalisasi kelembagaan adat dalam mengatur pola pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan. Masyarakat adat Toro membagi wilayahnya dalam 5 zona sesuai dengan fungsinya yaitu: Zona Wana Ngkiki yang dimanfaatkan sebagai tempat habitat hewan, Zona Wana sebagai penyangga kandungan air, Zona Pangale sebagai tempat perburuan secara tradisional, Zona Pahawa Pongko untuk menanam tanaman tahunan dan Zona Oma Ntua untuk mengelola tanaman palawija. Disamping itu juga masih terdapat nilai-nilai budaya konservasi di dalam masyarakat Toro yang ditunjukkan oleh aturan adat yang melarang penebangan tanaman yang ada di hutan Lore Lindu dan inisiatif adat untuk melakukan penanaman kembali tanaman yang ditebang untuk keperluan khusus. Penebusan sanksi adat berupa kerbau, dulang atau pun mbesa. Pembagian zonasi ini merupakan kearifan lokal yang diturunkan dari nenek moyang mereka secara lisan.
Belum ada penelitian secara mendalam tentang metode pembagian zona berdasarkan peruntukannya ini. Pembagian zonasi semata-mata berdasarkan pada kebijakan para tetua adat. Secara umum dapat diinformasikan bahwa wilayah lahan sampai 300 meter di atas permukaan laut dipergunakan untuk perumahan, kebun rumah, kebun obat-obatan tradisional dan segala macam tanaman rempah. Wilayah dengan ketinggian antara 300 sampai 400 meter diperuntukkan bagi pertanian dan pergiliran tanaman. Ketinggian wilayah antara 400 sampai 500 meter diperuntukkan perburuan dan pengumpulan bahan-bahan material untuk pembangunan/perbaikan rumah. Di atas ketinggian 500 meter dipercayai sebagai tempat keramat yang dihuni oleh roh nenek moyang. Karena itu merupakan “Zona” yang tidak boleh didaya gunakan. Adanya kearifan lokal yang masih dipertahankan di desa Toro memberikan peluang upaya pelestarian yang prospektif.
Semakin sempitnya habitat Anoa akibat adanya kegiatan eksploitasi hutan, konversi hutan menjadi lahan pertanian, penempatan transmigrasi, perkebunan, industri turut mempercepat kepunahan satwa ini. Di daerah pedesaan pantai barat Sulawesi Tengah, penangkapan Anoa dengan jerat untuk kebutuhan daging hingga saat ini masih tetap terjadi. Agar Anoa dapat terjamin keberadaannya, perlu adanya upaya konservasi terhadap jenis-jenis flora yang merupakan komponen pakan utama Anoa.
Sebagaimana ruminansia pada umumnya, pakan Anoa terdiri atas pakan hijauan sebagai pakan dasar yang kaya serat kasar untuk sumber energi dan tangsal perut, dan pakan konsentrat yang kaya protein, energi, mineral organik dan vitamin yang diperlukan ternak. Ransum pakan tradisional lebih menitik beratkan perpaduan rumput dan dedaunan dengan indikator utama kenaikan bobot badan (Pujaningsih, 2005). Kerbau liar kerdil yang endemik ini makan rumput-rumputan, paku-pakuan, semak serta buah-buahan yang jatuh (Mackinnon and MacKinnon, 1979). Sejauh ini belum tersedia data mengenai kebutuhan nutrisi untuk Anoa sebagaimana hewan ternak lainnya.
Di alam bebas Anoa liar memakan aquatic feed antara lain berupa pakis, rumput, tunas pohon, buah-buahan yang jatuh, dan jenis umbi-umbian. Berdasarkan pengamatan Pujaningsih, et al., (2005) dan beberapa peneliti dilaporkan bahwa Anoa dataran rendah kadang-kadang juga meminum air laut yang diduga untuk memenuhi kebutuhan mineral mereka. Di dataran tinggi, Anoa menjilat garam alami dalam rangka pemenuhan kebutuhan mineralnya. Di tempat-tempat penangkaran maupun kebun binatang, Anoa diadaptasikan dengan diberi pakan berupa rumput kering dan pelet. (Malik et al., 2004; Pujaningsih, 2005; Pujaningsih et al., 2005).
Berdasarkan data dari IUCN (2002) sejak tahun 1979, secara pasti jumlah Anoa kian merosot bahkan di beberapa wilayah yang dekat dengan desa/kampung, keberadaannya telah menghilang sama sekali. Anoa pada dewasa ini hanya dapat ditemukan di dalam hutan besar. Belum ditemukannya pemahaman yang sempurna untuk upaya budidayanya menyebabkan perkembangbiakan Anoa menjadi terhambat. Untuk mengupayakan pelestarian Anoa perlu dilakukan identifikasi, studi serta evaluasi dengan berbagai model pendekatan/aspek untuk mendapatkan hasil yang optimal dan mencapai sasaran.

Referensi:

Kessler, P J A, Bos, M, Ramadhanil P and Gradstein. 2002. Checklist of Woody Plant of Sulawesi, Indonesia. Symposium (SFB 552) “ Land Use, Nature Conservation and the Stability of Rainforest margins in Southeast Asia”. Bogor. 29 September- 3 October 2002.

Kinnaird M F, 1877. Sulawesi Utara, Sebuah Panduan Sejarah Alam . Yayasan Pengembangan Wallacea.

Malik, A., Pujaningsih, R.I. and Labiro, E. 2004. Participatory of Wildlife Conservation in Central Sulawesi Indonesia. (A Review on A Case study of Anoa Bubalus spp. as one of endemic endangered animal from Sulawesi, Indonesia). In: Proceeding of The 5th International Symposium-cum-Workshop "The Role of German Alumni in Rural/Regional Development and Entrepreneurship " by SEAG, Royal Agricultural University and the University Consortium Georg-August-University Göttingen, University of Kassel and Philipps University Marburg. Phnom Penh, August 23 - 27, 2004.

Mackinnon, J and K. Mackinnon. 1979. Animals of Asia. The Ecology of the Oriental Region. Peter Lowe, London

Pujaningsih, R.I., Sukamto, B dan Labiro, E. 2005. Identification and Feed Technology Processing for Roughage in Term of Anoa (Bubalus sp) conservation. National Seminar of Fundamental Research. Jakarta, 16-18th May 2005

Pujaningsih, R.I. 2005. Identifikasi Vegetasi Pakan Alami Anoa (Bubalus sp). In: Proceeding of The 6th International Symposium-cum-Workshop "(In-) Equity and Development : the Role of Science and Technology " by SEAG, Gadjah Mada University and the University Consortium Georg-August-University Göttingen, University of Kassel and Philipps University Marburg. Yogyakarta, August 22 - 26, 2005

Ramadhanil P, Kessler, P J A, S R Gradstein, E. Guhardja, C.H. Leuschner, H. Wiriadinata, S. T. Sudirdjo. 2002. Tree Composition In Secondary Forest of Lore Lindu National Park Central Sulawesi, Indonesia. Symposium (SFB 552) “ Land Use, Nature Conservation and the Stability of Rainforest margins in Southeast Asia. Bogor. 29 September- 3 October 2002.

Soehartono, T. dan A. Mardiastuti. 2003. Pelaksanaan konvensi CITES di Indonesia. Japan International Cooperation Agency (JICA), Jakarta

COMPARATION STUDY PROGRESS ON ANOA’S BEHAVIOUR

R. I. Pujaningsih1), A. Malik2), S. Pudyatmoko3)
1) Fac. of Animal Agriculture, Diponegoro University
2) Fac.of Agriculture, Tadulako University
3) Fac. of Forestry, Gadjah Mada University


Abstract


Anoa are small buffalo-like animals endemic to the Indonesian island of Sulawesi. This species is vulnerable due to its restricted range and the possibility of extinction from several threaths including hunting, habitat loss and possible natural catastrophes. The management and conservation objective is to maintain genetically viable, self-sustaining, free-living Anoa population(s). In order to achieve this goal, it is necessary to understand its behaviour both in its in-situ habitat as well in the ex-situ area. The in-situ study area was took place in Lore Lindu National Park of Central Sulawesi which was compared to the report from ex-situ observation of Taman Safari Indonesia Bogor. The behavioural data were collected by direct and indirect observations during wet season. Some references were used to obtain the conclusion of comparison study report. The observations were partly undertaken in the feeding grounds and in the wallowing sites. It can be observed that Anoa could become very agressive during the breeding seasons. Generally, there are no significantly difference behaviour in both observed habitat of Anoa.

Keywords: Anoa, in-situ, ex-situ, behaviour

Saturday, June 09, 2007

Buku Budidaya Kodok Lembu

Alhamdulillah sudah terbit buku berjudul Budidaya Kodok Lembu.
Isinya ya petunjuk untuk membudidayakan kodok lembu yang sangat prospektif ini. Dan semuanya berdasarkan survey serta pengalaman penulis bersama team...

Harga per buku Rp. 35.000,00 dilengkapi dengan foto-foto berwarna.
Diterbitkan oleh Penerbit buku handal Kanisius.

Notes