Friday, April 04, 2008

PENTINGNYA KEGIATAN KONSERVASI

Konservasi kawasan dan keanekaragaman hayati meliputi pengelolaan dan pendayagunaan kawasan konservasi serta pemberdayaan masyarakat sekitar taman nasional, taman wisata, taman hutan raya, kawasan suaka alam, hutan lindung dan taman buru. Konservasi keanekaragaman hayati meliputi konservasi jenis dan genetik, konservasi ekosistem esensial, pengembangan lembaga konservasi, penangkaran tumbuhan dan satwa liar, tertib peredaran tumbuhan dan satwa liar (Direktorat Jendral PHKA, 2002). Kenyataannya sampai sekarang pelestarian tersebut masih belum terlaksana dengan baik, mengingat ancaman yang dihadapi sangat rumit dan sangat sulit untuk di atasi. Beberapa di antaranya adalah pengaruh perubahan iklim, eksploitasi yang berlebihan atau kegiatan yang mengakibatkan kerusakan fisik penopang kehidupan, pencemaran, kehadiran spesies asing yang invasif, dan kegiatan pembudidayaan yang tidak disertai upaya yang menjamin kelestarian berbagai varietas dari spesies yang dibudidayakan. Gunawan dan Mukhtar (2005) melaporkan bahwa perambahan menyebabkan terganggunya sampai berubahnya ekosistem mikro akibat berubahnya struktur dan komposisi sampai hilangnya vegetasi. Perambahan juga menyebabkan berkurangnya sampai hilangnya ruang, pakan, tempat berlindung, dan tempat beraktivitas sosial. Pengaruh perambahan hutan yang diterima oleh populasi satwaliar antara lain menurunnya populasi, terganggunya kesehatan, migrasi, meningkatnya persaingan, perubahan perilaku, perubahan kebiasaan makan dan jenis makanan, dan terganggunya proses reproduksi.

Jenis-jenis endemik terbentuk karena adanya habitat yang spesifik. Jenis-jenis tersebut hanya terdapat pada habitat di tempat mereka terbentuk dan hanya mampu beradaptasi dengan karakteristik habitat tersebut. Apabila habitatnya mengalami perubahan secara drastis (misalnya oleh adanya polusi, konversi lahan, fragmentasi habitat, dll), maka jenis-jenis endemik sering tidak mampu beradaptasi mengikuti perubahan tersebut. Dihadapkan dalam kondisi seperti ini, jenis-jenis endemik akan mengarah pada kepunahan. Soehartono dan Mardiastuti (2003) menegaskan dengan kata lain, jenis-jenis endemik mudah mengalami kepunahan apabila habitatnya terganggu.

Kemampuan adaptasi yang lemah tidak saja terjadi terhadap perubahan habitat, tetapi juga dalam hal beradaptasi dengan jenis-jenis baru (Malik et al., 2004). Jenis-jenis endemik tidak terbiasa hidup berkompetisi, sehingga akan mengalami tekanan apabila ke dalam habitatnya diintroduksi jenis-jenis dari habitat lain yang memanfaatkan sumberdaya yang sama dengan jenis endemik tersebut. Keberadaan jenis-jenis kompetitor akhirnya akan secara lambat laun menyingkirkan posisi jenis-jenis endemik. Umumnya jenis-jenis endemik juga kurang atau bahkan tidak terbiasa hidup dengan predator, sehingga dia tidak memiliki kemampuan untuk menyelamatkan diri dari predator. Apabila ke dalam habitatnya diintroduksi predator maka dalam waktu singkat populasi jenis endemik akan habis. Sama halnya dengan predator, penyebarannya yang terbatas menyebabkan jenis-jenis endemik juga tidak terbiasa dengan patogen yang berasal dari habitat lain. Kedatangan jenis-jenis introduksi yang membawa patogen baru ke habitat di tempat jenis-jenis endemik berada dapat menimbulkan wabah yang memusnahkan jenis-jenis endemik. Pemaparan tersebut menunjukkan betapa jenis-jenis endemik memiliki resiko kepunahan yang sangat tinggi, sehingga pengelolaannya perlu dilakukan secara sangat hati-hati.

Secara umum, terdapat beberapa hal yang menyebabkan rawan punah atau punahnya jenis hayati yaitu: (1) Kurangnya eksplorasi jenis baru, sehingga kepunahan jenis tersebut tidak diketahui; (2) Penyediaaan habitat untuk jenis yang dilindungi masih sangat kurang (Alikodra, 1996; Direktorat Jendral PHKA, 2002; Malik et al., 2004); (3) Habitat yang disediakan tidak sesuai bagi suatu jenis yang dilindungi; (4) Pembangunan yang tidak memperhatikan kelestarian alam (Malik et al. 2004); (5) Pemanfaatan yang memutus daur reproduksi (Kasim, 2002); (6) Adanya pemindahan suatu jenis baru kedalam suatu ekosistem; (7) Kurang sadarnya akan pentingnya konservasi hewan langka bagi anggota masyarakat sekitar, termasuk pengelola kawasan (Pujaningsih et al., 2007; Soehartono dan Mardiastuti, 2003); (8) Upaya kongkrit perlindungan belum nyata di lapangan. Masih banyak dijumpai penjualan jenis hayati yang dilindungi di tempat umum; (9) Pengambilan dari alam secara besar-besaran dan terus-menerus (Kasim, 2002).

Terdapat dua jenis model konservasi (FAO, 2002), yaitu konservasi in situ dan konservasi ex situ. Konservasi in situ dianggap merupakan strategi ideal konservasi, meskipun pelaksanaannya seringkali sulit dilakukan. Sebagai contoh misalnya, kerusakan habitat spesies yang langka dan atau rawan punah seringkali memerlukan upaya konservasi ex situ. Lebih lanjut konservasi ex situ dapat memberikan solusi yang mendukung upaya konservasi in situ. Beberapa pihak yakin bahwa ke dua model konservasi diperlukan untuk upaya perlindungan sumber daya alam hayati. Menurut Franco et al. (2004) mempelajari habitat asli akan mendukung upaya pengelolaan di area pemeliharaan yang berbeda. Salah satu contoh konservasi in situ adalah program perbaikan ekosistem suatu kawasan yang dilindungi. Program ini diiringi dengan konservasi ex situ yang berupaya melakukan penyediaan bibit tanaman maupun mengembangbiakan satwa langka di tempat-tempat penangkaran.

No comments:

Notes