Tuesday, November 01, 2011

Budidaya Satwa Harapan

Perkembangan usaha peternakan telah sampai pada upaya perluasan jenis-jenis hewan yang diusahakan untuk diambil hasilnya. Perluasan ini dibuktikan dengan munculnya istilah baru, yaitu ‘satwa harapan’. Berdasarkan perbedaan dari definisi antara hewan dan ternak, dimana hewan adalah semua binatang yang hidup di darat, baik yang dipelihara maupun yang liar. Ternak adalah hewan piaraan yang kehidupannya diatur dan diawasi oleh manusia serta dipelihara khusus untuk diambil hasil dan jasanya bagi kepentingan hidup manusia. Satwa harapan dapat didefinisikan sebagai binatang atau satwa selain binatang yang dipelihara/diternakan tersebut dan diharapkan apabila diusahakan dapat menghasilkan bahan dan jasa seperti ternak. Berbagai jenis satwa harapan tersebut, contohnya antara lain ; burung (burung puyuh,ayam hutan), cucak rawa, reptil (ular,buaya), ikan arwana, kupu-kupu, banteng, rusa, gajah dan anoa.
Pada umumnya, alasan utama manusia melakukan budidaya satwa liar adalah karena alasan ekonomis yang berasal dari bermacam-macam produk, misalnya ; daging, minyak, gading/tanduk/taring, kulit sampai pada pemanfaatan bulu dan nilai keindahan dari kekhasannya. Salah satu cara budi daya dan pengembangan satwa liar menjadi komoditi domesti adalah domestikasi atau penangkaran. Ada beberapa pola yang dikembangkan, yaitu game ranching dan game farming. Game ranching adalah penangkaran yang dilakukan dengan sistem pengelolaan yang ekstensif. Ada dua arti yang berbeda (Robinson dan Bolen, 1984), pertama, suatu kegiatan penangkaran yang menghasilkan satwa liar untuk kepentingan olah raga berburu, umumnya jenis binatang eksotik, kedua, adalah kegiatan penangkaran satwa liar untuk menghasilkan daging, kulit, maupun binatang kesayangan, seperti misalnya burung, ayam hutan dan sebagainya. Pola penangkaran ini telah berkembang di Afrika, Amerika Serikat dan Australia. Di Indonesia sendiri pola ini telah di coba dikembangkan untuk jenis-jenis ayam hutan, burung, reptil (buaya, ular, penyu) dan ungulata (rusa, banteng).
Pola yang kedua adalah game farming, yaitu kegiatan penangkaran satwa liar dengan tujuan untuk menghasilkan produk-produk seperti misalnya kulit, bulu, minyak dan taring/gading/tanduk. Dalam pola ini dikembangkan juga penjinakan untuk keperluan tenaga kerja, misalnya gajah.
Prinsip penangkaran adalah pemeliharaan dan perkembangbiakaan sejumlah satwa liar yang sampai pada batas-batas tertentu dapat diambil dari alam, tetapi selanjutnya pengembangannya hanya diperkenankan diambil dari keturunan-keturunan yang berhasil dari penangkaran tersebut. Ada empat syarat untuk mengembangkan komoditi domestik melalui penangkaran agar diperoleh hasil maksimal, yaitu :
  •  Obyek (satwa liar), perlu memperhatikan populasinya di alam apakah mencukupi atau tidak, kondisi species (ukuran badan, perilaku) dan proses pemeliharaan sertta pemanfaatannya. 
  • Penguasaan ilmu dan teknologi, meliputi pengetahuan tentang ekologi satwa liar serta dikuasainya teknologi yang sesuai dengan keadaan perkembangan dunia. 
  • Tenaga terampil untuk menggali dasar ekologi ataupun cara pengelolaan pada proses penangkaran
  • Masyarakat, berkaitan erat dengan sosial budaya dan diharapkan sebagai sasaran utama dalam proses pemasaran produk.
Penangkaran dalam rangka budi daya dilakukan dengan sasaran utama komersiil terutama dari segi peningkatan kualitasnya, sehingga metode yang diterapkan lebih ditujukan untuk peningkatan jumlah produksi yang ditentukan oleh kaidah-kaidah ekonomi dan dikendalikan pasar. Metode  ini menerapkan teknologi reproduksi yang tinggi, seperti misalnya : inseminasi buatan, transplantasi embrio, agar dapat dihasilkan keturunan jantan yang baik, sehingga terjadi peningkatan genetik. Namun demikian, ini hanya boleh dilakukan bagi satwa/binatang hasil penangkaran pertama karena menyangkut nilai sosila etis dan undang-undang tentang perlindungan satwa liar yang merupakan satwa langka.
Suatu alasan yang sangat penting agar peternakan satwa liar dapat dikembangkan adalah karena satwa liar mempunyai daya adaptasi yang lebih tinggi dibandingkan ternak lain, selain proses pengelolaannya jauh lebih mudah dan hasilnya sangat memuaskan. Hal-hal penting yang perlu diperhatikan untuk memperbesar kemungkinan domestikasi/penangkaran adalah anggapan bahwa satwa liar tidak dapat didomestikasikan adalah karena kualitas keliaran. Hal ini sama skali tidak benar, sebab mamalia liar dapat dijinakan sama mudahnya seperti yang lain (Ertingham, 1984). Hal lainnya yang perlu juga diperhatikan adalah pendapat bahwa pada domestikasi ada satu atau dua spesies yang tidak dapat mengeksploitasi potensi vegetasi makanannya secara penuh seperti pada saat mereka hidup di alam bebas. Hal ini mungkin ada benarnya dan dapat dibuktikan pada satwa-satwa domestik seperti misalnya jenis hewan pemakan semak (sapi dan kambing), pemakan rumput (domba). Sapi akan memakan hijauan sampai pada tingkat tertentu dan kambing akan merumput maupun memakan semak apabila terpaksa. Hal ini berarti bahwa mereka mampu memanfaatkan suatu selang vegetasi yang luas meskipun ada tumbuh-tumbuhan yang tidak mereka makan.
Dari segi sosial ekonomi, hal-hal penting yang perlu diperhatikan tidak berhubungan langsung  dengan ternak obyeknya. Segi ekonomi lebih mengarah pada ada/tidaknya modal sebagai penyedia input dan kelangsungan proses penangkaran sebagai produksinya dan pertimbangan akan hasil yang dikeluarkan sebagai out putnya. Segi sosial, lebih mengarah pada ketaatan terhadap undang-undang (sosial etis) dan kesiapan untuk menerima  dan melakukan proses domestikasi/penangkaran terhadap satwa liar ini.
Nampaknya  masa depan satwa liar sebagai suatu sumber daya yang dapat di eksploitasi dan dikembangkan sebagai suatu faktor penambah keanekaragaman hewan domestic sangat bagus prospeknya, sebagai contoh,  peternakan Gazzella (sejenis rusa) telah dipraktekan dan hasilnya sangat memuaskan selama bertahun-tahun di Afrika Selatan.  Bahkan peternakan ini mampu menyerap tenaga kerja sekitar 3000 orang dengan produksi lebih dari tiga juta kilogram daging pertahun.  Indonesia dengan potensi sumber daya yang tinggi dimana terdapat beraneka ragam binatang lebih meningkatkan pengembangan dan memasyarakatkan sistem domestikasi/penangkaran ini. Suatu contoh yang berkembang di Indonesia adalah sapi Bali (Bos sondaicus). Jenis ini telah membudidaya di masyarakat dan telah mempunyai status  sosial, bahkan penyebarannya telah sampai ke Australia. Satwa liar yang mempunyai potensi sama besarnya adalah rusa dan anoa yang didukung  dengan populasinya yang masih banyak.
Potensi-potensi tersebut dengan alasan di atas hendaknya digali dan dikembangkan dengan sistem domestikasi sebagai langkah awalnya. Selain itu, pola-pola penangkaran yang telah dikembangkan masyarakat tradisional seperti dilakukan masyarakat di pedalaman Irian Jaya terhadap buaya, yang termasuk kategori farming perlu dikembangkan dan ditingkatkan dengan memberi bimbingan ke arah pola penangkaran profesional, sehingga hasilnya optimal. 

Handout kuliah Budidaya Satwa Harapan dapat di unduh di sini

No comments:

Notes