There are so many things we can do for the people and the environment... Let share our minds together..
Tuesday, December 30, 2008
Anoa's Behaviour.. (??)
anoa sangat liar dan tidak bisa diajak baikan dengan manusia..
(nyatanya di Taman Margasatwa Ragunan Jakarta dan Di Kebun Binatang Leipzig, Jerman, hal ini tidak terjadi. Hubungan kedua mahkluk Tuhan ini baik-baik saja)
info dari peneliti asing menyatakan bahwa berat badan hidup anoa bisa berkisar hingga 150 kg..
(hasil penelitian seorang native nara sumber menyatakan bahwa anoa yang ditemui selama 2 tahun penelitian di Taman Nasional Rawa Aropa Watumohai, Sultra tidak pernah lebih dari 100 kg.. apakah karena kualitas pakan in situ yang semakin menurun dari tahun ke tahun ? Ataukah kualitas genetik dari hewan ini yang berkurang ?)
upaya mengembangbiakkan satwa liar anoa itu dengan cara ditangkarkan sudah pernah dilakukan, namun hasilnya sia-sia saja. Persoalannya, satwa anoa termasuk hewan yang sangat susah untuk hidup dalam satu ekosistem, apalagi berdampingan dengan lingkungan manusia..
(konon katanya di kebun binatang Surabaya sudah berhasil mengawinkan anoa hingga beranak, juga di kebun binatang Ragunan Jakarta.. Kasus di TMR Jakarta karena kemudian pejantannya mati maka si induk jadi tidak punya pasangan yang "seimbang".. dijodohkan dengan anoa jantan yang lebih muda malah si jantan kecil ditanduk...ga mau brownies rupanya si emak anoa ni...)
Pada tahun 2000 lalu, dengan dibantu pihak BKSDA, ada dua kelompok masyarakat di Kabupaten Buton dan Konawe Selatan Sulawesi Tenggara yang pernah mencoba melakukan penangkaran tetapi hasilnya sia-sia karena hewan langka itu tidak mau kawin bila ada hewan lain yang mengusiknya.
Berbeda dengan satwa rusa dan burung langka lainnya, sangat mudah ditangkar asalkan ada keinginan masyarakat untuk melakukan kegiatan pelestarian hewan tersebut. "Tapi anoa ini lain. Hewan ini tidak akan bisa berkembang biak bila ada manusia yang memeliharanya atau hidup satu kandang dengan jenis hewan lain," kata Halasan dari BKSDA Sultra.
(hhmm....masa sih ?? sedangkan batu pun bisa terkikis oleh tetesan air hujan... karang pun lama-lama hancur dihempas ombak... masa manusia bisa "dikalahkan" oleh hewan ??)
Tuesday, November 11, 2008
Metode Identifikasi Pakan Anoa
Identifikasi pakan secara tidak langsung
Analisis kotoran digunakan untuk menduga pakan satwa berdasarkan identifikasi mikroskopis pecahan epidermis dalam kotoran. Jenis tanaman diketahui dengan perbandingan identifikasi pecahan epidermis dalam kotoran dengan epidermis tanaman pembanding. Komposisi pakan satwa diketahui dengan analisis kuantitatif dari jumlah dan ukuran fragmen epidermis. Analisis kuantitatif dilakukan dengan modifikasi teknik penghitungan analisis vegetasi dan hasilnya adalah indeks nilai penting tiap jenis pakan (Bhadresa, 1986 yang disitasi oleh De Boer et al., 2000).
Kotoran (faecal/dung) adalah hasil akhir dari proses pencernaan yang dibuang dengan proses defekasi. Beberapa satwa seperti misalnya badak jawa, kotoran digunakan sebagai tanda wilayah jelajah aktivitasnya. Rusa Timor memanfaatkan kotoran sebagai tanda wilayah untuk kelompoknya (Shigeki, 1992). Beberapa studi kehidupan satwa liar sering memanfaatkan kotoran sebagai petunjuk keberadaaan satwa yang diteliti. Kotoran yang dikeluarkan oleh satwa memiliki bentuk yang bermacam-macam. Tiap kelompok satwa memiliki ciri dan bentuk tersendiri dari kotorannya. Bentuk dan ukuran dapat menentukan kelompok satwa atau jenis satwa (Shigeki, 1992): (1) Karnivora : ujung kerucut, pangkal bulat; (2) Herbivora famili cervidae : bulat menyerupai butiran; dan (3) Herbivora famili bovidae : bulat menyerupai kue.
Storr (1960) mengatakan bahwa analisis kotoran cocok digunakan untuk mengetahui pakan satwa herbivora. Ia melakukan studi mengenai analisis kotoran dengan menggunakan satwa herbivora khas Australia yaitu quokka (Setonix branchyrus) di Pulau Rottnes. Analisis kotoran untuk satwa herbivora biasanya menggunakan teknik mikroskopik sedangkan untuk satwa karnivora biasanya menggunakan pengamatan makroskopik.
Thursday, October 02, 2008
Strawberry si Buah Hati
Strawberry si Buah Hati
Strawberry merupakan tanaman buah berupa herba yang rata-rata memiliki 200 biji kecil per satu buahnya. Ada 700-an macam jenis strawberry.
Salah satu jenis spesiesnya bernama Fragaria chiloensis L. Jenis ini yang menyebar ke berbagai negara Amerika, Eropa dan Asia . Spesies yang lainnya yaitu F. vesca L. Yang satu ini lebih menyebar luas dibandingkan spesies lainnya. Jenis strawberry ini pula yang pertama kali masuk ke Indonesia .
Warna merah pada strawberry matang sangat beralasan. Warna merah itu disebabkan karena buah ini kaya pigmen warna antosianin dan mengandung antioksidan tinggi. Mendengar kata antioksidan, anda tentu sudah tahu bahwa itu artinya, khasiatnya sangat banyak. Dan anda benar! Buah strawberry menyimpan nutrisi yang luar biasa. Selain antioksidan tersebut, ia juga kaya serat, rendah kalori, dan mengandung vitamin C, folat, potassium, serta asam ellagic.
Mau tahu khasiat strawberry?
1. Strawberry mampu menyusutkan kadar kolestrol.
2. Strawberry dapat membantu melumpuhkan kerja aktif kanker karena asam ellagic yang dikandungnya tersebut.
3. Strawberry dapat meredam gejala stroke.
4. Strawberry mengandung zat anti alergi dan anti radang.
5. Konsentrasi tujuh zat antioksidan yang ada pada strawberry lebih tinggi dibandingkan buah atau sayuran lain, sehingga strawberry merupakan buah yang efektif mencegah proses oksidasi pada tubuh (Oksidasi ialah hancurnya jaringan tubuh karena radikal bebas. Oksidasi juga bertanggung jawab pada proses penuaan).
6. Strawberry yang kaya vitamin C sangat bermanfaat bagi pertumbuhan anak.
7. Strawberry yang hanya sedikit mengandung gula juga cocok untuk diet bagi pengidap diabetes.
8. Strawberry yang dimakan teratur dapat menghaluskan kulit dan membuat warna kulit terlihat lebih cerah dan bersinar. Khasiat yang terkenal lainnya adalah anti keriput!
9. Strawberry dapat memutihkan atau membersihkan permukaan gigi.
10. Strawberry ampuh melawan encok dan radang sendi.
11. Daun strawberry juga berkhasiat karena memiliki zat astringent. Tiga hingga empat cangkir air hasil rebusan daun strawberry per hari, dapat efektif menghentikan serangan diare.
Kebutuhan vitamin C orang dewasa perharinya dapat dicukupi oleh 8 buah strawberry (98 mg). Kebutuhan serat juga sekaligus bisa terpenuhi.
Hati-hati dalam menyimpan buah ini, karena strawberry yang sudah mulai busuk dapat menular dengan sangat cepat ke strawberry lain yang disimpan bersamaan. Strawberry dapat tahan 4 hari di lemari es. Tetapi di freezer, buah ini bisa bertahan selama 1 bulan dengan cara penyimpanan yang benar. Atur strawberry secara satu-satu terpisah, lalu bekukan. Setelah beku, siram dengan air dan masukkan ke dalam plastik, lalu bekukan kembali. Cara menyimpan seperti ini cocok untuk membuat juice.
Dengan banyaknya kegunaan strawberry, yakinlah bahwa memang buah ini cocok disebut buah cinta. Buah yang dapat menjadi kado penuh cinta dari anda untuk kesehatan tubuh anda sendiri.
Suka dengan artikel ini?
Jangan lupa forward ke teman yang lain.
Thursday, September 11, 2008
(review: Potensi Anoa sebagai Satwa Budidaya)
PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi kedua di dunia setelah Brasil. Walaupun luas total daratan hanya 1,3 % dari seluruh permukaan bumi, Indonesia memiliki 10 % tumbuhan berbunga (27.000 jenis), 12 % mamalia (515 jenis), 16 % satwa amphibia (270 jenis), dan 17 % aves (1. 539 jenis). Indonesia tidak hanya kaya dengan jenis flora dan fauna, tetapi juga memiliki banyak jenis endemik. Misalnya endemisitas fauna di pulau Sulawesi yang disebabkan oleh posisi geografisnya yang terletak di kawasan Wallacea. Di pulau Sulawesi, dari 263 jenis burung yang ditemukan, 32 persen (86 jenis) adalah jenis endemik. Enam puluh persen (68 jenis) dari 114 jenis mammalia yang ditemukan di Sulawesi merupakan jenis-jenis endemik, serta sebanyak 26 persen (30 jenis) dari 117 jenis reptilia yang ditemukan di pulau Sulawesi adalah jenis-jenis endemik. Sementara itu tingkat endemisme flora di pulau Sulawesi dilaporkan tidak terlalu tinggi, hanya sekitar 7 persen. Tingkat endemisitas jenis yang tinggi juga ditemukan Irian dan di kepulauan Mentawai. Pelestarian keanekaragaman hayati menjadi sangat penting demi pemanfaatannya secara benar dan berkelanjutan.
Konservasi Sumber Daya Alam
Secara harafiah kata konservasi berarti menjaga bersama-sama (berasal dari dua kata dalam Bahasa Latin: con = bersama-sama, servar = menjaga), namun konservasi bukanlah berarti tidak boleh memanfaatkan (Soehartono dan Mardiastuti, 2003). Merujuk pada Ensiklopedia Indonesia (Redaksi Ensiklopedia Indonesia, 1983) konservasi masih diartikan sempit, yaitu perlindungan benda dan hasil produksi dari kerusakan. Akibatnya banyak kalangan yang memandang pembangunan dan konservasi sebagai dua kutub yang bertentangan. Pembangunan menghendaki adanya perubahan sedangkan konservasi tidak menghendaki adanya perubahan, karena perubahan dapat menimbulkan kerusakan. World Conservation Strategy mendefinisikan konservasi sebagai manajemen biosphere secara berkelanjutan untuk memperoleh manfaat bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang (Alikodra, 1996). Konsep konservasi moderen tidak mengartikan konservasi sebagai tidak boleh memanfaatkan, melainkan memanfaatkan secara berkelanjutan. Melalui pemanfaatan berkelanjutan diharapkan kelestarian akan tetap terjaga.
Pentingnya kegiatan konservasi
Konservasi keanekaragaman hayati meliputi konservasi jenis dan genetik, konservasi ekosistem esensial, pengembangan lembaga konservasi, penangkaran tumbuhan dan satwa liar, tertib peredaran tumbuhan dan satwa liar (Direktorat Jendral PHKA, 2002). Sampai sekarang pelestarian tersebut masih belum terlaksana dengan baik, mengingat ancaman yang dihadapi sangat rumit dan sangat sulit untuk diatasi. Beberapa di antaranya adalah pengaruh perubahan iklim, eksploitasi yang berlebihan berupa kegiatan yang mengakibatkan kerusakan fisik penopang kehidupan, pencemaran, kehadiran spesies asing yang invasif, dan kegiatan pembudidayaan yang tidak disertai upaya yang menjamin kelestarian berbagai varietas dari spesies yang dibudidayakan.
Secara umum, terdapat beberapa hal yang menyebabkan rawan punah atau punahnya jenis hayati yaitu: (1) Kurangnya eksplorasi jenis baru, sehingga kepunahan jenis tersebut tidak diketahui; (2) Penyediaaan habitat untuk jenis yang dilindungi masih sangat kurang (Alikodra, 1996; Direktorat Jendral PHKA, 2002; Malik et al., 2004); (3) Habitat yang disediakan tidak sesuai bagi suatu jenis yang dilindungi; (4) Pembangunan yang tidak memperhatikan kelestarian alam (Malik et al. 2004); (5) Pemanfaatan yang memutus daur reproduksi (Kasim, 2002); (6) Adanya pemindahan suatu jenis baru ke dalam suatu ekosistem; (7) Kurang sadarnya akan pentingnya konservasi hewan langka bagi anggota masyarakat sekitar, termasuk pengelola kawasan (Pujaningsih et al., 2007; Soehartono dan Mardiastuti, 2003); (8) Upaya perlindungan belum nyata di lapangan. Masih banyak dijumpai penjualan jenis hayati yang dilindungi di tempat umum; (9) Pengambilan dari alam secara besar-besaran dan terus-menerus (Kasim, 2002; Gunawan dan Mukhtar, 2005).
Terdapat dua jenis model konservasi (FAO, 2002), yaitu konservasi in situ dan konservasi ex situ. Diyakini bahwa ke dua model konservasi diperlukan untuk upaya perlindungan sumber daya alam hayati. Menurut Franco et al. (2004) mempelajari habitat asli akan mendukung upaya pengelolaan di area pemeliharaan yang berbeda. Salah satu contoh konservasi in situ adalah program perbaikan ekosistem suatu kawasan yang dilindungi. Program ini lebih berdaya guna diiringi dengan konservasi ex situ yang berupaya melakukan penyediaan bibit tanaman maupun mengembangbiakan satwa langka di tempat-tempat penangkaran.
Penampilan Umum Anoa
Salah satu binatang endemik yg memerlukan perhatian khusus pada upaya konservasi karena statusnya menurut CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) sudah hampir punah adalah anoa (Bubalus sp.). Anoa termasuk satwa liar endemik dari pulau Sulawesi yang sudah dilindungi undang-undang perlindungan satwa liar sejak tahun 1931. Populasi dan habitat satwa ini semakin menurun baik kuantitas maupun kualitasnya disebabkan oleh kegiatan pembukaan hutan untuk pemukiman, perkebunan, pertambangan dan eksploitasi hutan. Akibatnya habitat anoa menjadi terkotak-kotak, populasi tersebar dalam jumlah kecil, yang pada akhirnya akan menyebabkan isolasi genetik dan terjadi degradasi mutu genetik satwa tersebut. Semakin sempitnya habitat anoa akibat kegiatan eksploitasi hutan, konversi hutan menjadi lahan pertanian, penempatan transmigrasi, perkebunan, industri turut mempercepat kepunahan satwa ini.
Menurut Groves (1969), di Sulawesi terdapat dua jenis anoa, yaitu anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis) dan anoa gunung (Bubalus quarlesi). Anoa memiliki warna bulu coklat kemerahan hingga hitam. Menurut Grzimek (1975) panjang kepala dan badan anoa berkisar 1600-1720 mm, panjang ekor 180-310 mm, tinggi bahu 690-1060 mm, berat badan berkisar 150-300 kg. Berat badan anoa ini dianggap dan dibuktikan terlalu berlebihan oleh beberapa peneliti (Mustari, 1995; Mustari, 2002; Kasim, 2002) karena berdasarkan penimbangan 12 ekor anoa yang ditangkap oleh peneliti-peneliti tersebut tidak satu pun yang memiliki berat badan lebih dari 110 kg untuk anoa dataran rendah dan 100 kg untuk anoa dataran tinggi. Perbedaan ini dimungkinkan karena pada kurun waktu yang berbeda maka ketersediaan pakan anoa pun berbeda baik dalam kualitas maupun kuantitasnya.
Penyebaran dan populasi
Sampai akhir abad ke-19, anoa dapat dijumpai hampir di seluruh daratan pulau Sulawesi. Heller (1889) menyatakan bahwa anoa terdapat di Gorontalo, sekitar Minahasa, Likupang, Lempias dan hutan antara Langowan dan Pangku. Mohr (1921) menggambarkan penyebaran anoa di Sulawesi Utara meliputi daerah Minahasa, Klabat, Teluk Tomini, Matinang dan Randangan. Anoa di Sulawesi Tengah, dijumpai di sekitar danau Lindu, daerah Besoa, Bada, Topebatu Toli-Toli Banggai dan Tobungku. Wilayah Sulawesi Selatan mencatat adanya anoa di sekitar danau Matana, danau Towuti dan Lalangatu. Harper (1945) menulis mengenai keberadaan anoa di Mamuju, Mamasa, Makale-Rantepao, Palopo, Buton, Kendari, Kolaka, Malili dan Masamba.
Perambahan hutan dan perburuan liar terhadap satwa ini menyebabkan tidak semua daerah yang tersebut di atas pada saat ini dihuni oleh anoa (Mustari, 1997). Berdasarkan data dari IUCN (2001) sejak tahun 1979, secara pasti jumlah anoa kian merosot bahkan di beberapa wilayah yang dekat dengan desa/kampung, keberadaannya telah menghilang sama sekali. Daftar Merah (Red List Book) IUCN memasukkan anoa dalam status “endangered”. Anoa pada dewasa ini hanya dapat ditemukan di dalam hutan primer. Wilayah Sulawesi Utara mencatat adanya anoa di Taman Nasional (TN) Dumoga Nani Warta Bone, Cagar Alam (CA) Panua dan beberapa kawasan hutan konsesi HPH (Hak Penebangan Hutan). Anoa di Sulawesi Tengah masih dapat dijumpai di Besoa (Sugiharta, 1994) dan TN Lore Lindu. Keberadaan anoa di Sulawesi Tenggara ditemukan di hutan Suaka Margasatwa (SM) Kolaka Utara, TN Rawa Aopa, SM Tanjung Peropa, SM Tanjung Batikolo, SM Tanjung Amolengu dan SM Buton Utara. Belum ditemukannya pemahaman yang sempurna untuk upaya budidayanya menyebabkan perkembangbiakan anoa menjadi terhambat.
Tingkah laku
Penelitian yang dilakukan oleh Mustari (1995) melaporkan bahwa jarang ditemukan kelompok anoa lebih dari tiga ekor. Menurut Jarman (1974) yang disitasi oleh Hügi et al. (1999) jenis satwa yang mencari pakan dengan meramban, cenderung hidup sendiri atau berpasangan untuk menghindarkan kompetisi dalam mendapatkan pakannya. Dilaporkan juga bahwa anoa mempunyai kesenangan berendam di dalam air dan berkubang di dalam lumpur (Groves, 1969; Fadjar, 1973; Whitten et al., 1987; Mustari, 1995). Periode bunting adalah 276 - 315 hari dan biasanya melahirkan satu anak. Seekor anoa dapat mencapai umur sekitar 20-25 tahun. Hasil pengamatan Mustari (1995) melaporkan bahwa anoa aktif di pagi dan sore menjelang malam hari. Periode waktu di antaranya digunakan untuk beristirahat dan beruminasi di dalam hutan.
Mustari (1995) menyatakan bahwa anoa sebenarnya adalah satwa yang pemalu dan tidak suka ribut. Satwa ini menjadi ganas jika dalam keadaan terluka atau habis melahirkan. Whitten et al. (1987) melaporkan bahwa anoa tidak pernah berada di wilayah yang sama dengan rusa maupun babi hutan. Hal ini diduga karena kebiasaan anoa sebagai “browser” dan rusa sebagai “grasser”. Meskipun demikian karena habitat yang semakin sempit, Mustari (1995) menemukan bahwa anoa dan rusa hidup berdampingan di SM Tanjung Amolengu pada area seluas 5 km2.
Menurut informasi Whitten et al. (1987), anoa adalah binatang monogamus dan tidak menandai wilayah kekuasaannya. Keberadaan anoa di dalam suatu wilayah ditandai dengan adanya bekas defekasi, goresan tanduk pada pepohonan maupun bekas
galian tanah di sekitar tempat satwa ini melakukan defekasi.
Pakan
Sebagaimana ruminansia pada umumnya, pakan anoa terdiri atas hijauan sebagai pakan dasar yang kaya serat kasar untuk sumber energi dan memenuhi isi lambung, dan pakan konsentrat yang kaya protein, energi, mineral organik dan vitamin yang diperlukan ternak. Ransum pakan tradisional lebih menitik beratkan perpaduan rumput dan dedaunan dengan indikator utama kenaikan bobot badan (Pujaningsih, 2005). Sejauh ini belum tersedia data mengenai kebutuhan nutrisi untuk anoa sebagaimana hewan ternak lainnya. Anoa di alam bebas memakan antara lain pakis, rumput, tunas pohon, buah-buahan yang jatuh, dan jenis umbi-umbian. Berdasarkan pengamatan Mustari (1995 dan 2003a); Labiro (2001) dan Pujaningsih, et al., (2005) dilaporkan bahwa anoa kadang-kadang juga meminum air laut yang diduga untuk memenuhi kebutuhan mineral mereka.
Anoa diadaptasikan di tempat-tempat penangkaran maupun kebun binatang, dengan diberi pakan segar yang tersedia di lokasi (Malik et al., 2004; Pujaningsih, 2005; Pujaningsih et al., 2005). Manansang et al. (1996) merekomendasikan pakan dari jenis dedaunan (daun nangka, daun pisang, daun singkong atau yang lainnya), rerumputan, buah-buahan (pisang, nangka, pepaya, jambu atau yang lainnya), sayuran (kangkung, wortel, lobak, ubi, singkong), konsentrat yang mengacu pada konsentrat sapi potong serta garam mineral.
Prospek dan potensi sebagai satwa budidaya
Diperkirakan bahwa anoa sudah menghuni pulau Sulawesi sejak 60 juta tahun yang lalu. Melalui adaptasi yang sangat lama, anoa memiliki beberapa keunggulan dalam hal kemampuan memanfaatkan sumber daya setempat, adaptasi iklim, ketahanan penyakit dan berbagai keunggulan yang tidak dimiliki satwa lain. Satwa ini berpotensi menjadi stok plasma nutfah yang sangat potensiil pada masa datang. Plasma nutfah adalah substansi yang terdapat dalam setiap kelompok makhluk hidup dan merupakan sumber sifat keturunan yang dapat dimanfaatkan dan dikembangkan untuk menciptakan jenis unggulan atau kultivar baru. Upaya konservasi yang lebih mendasar terhadap satwa ini, diantaranya mengamankan habitat dan populasinya, perlu dilakukan untuk mengamankan bank gen tersebut.
Anoa diburu untuk dimanfaatkan kulit, tanduk dan dagingnya. Kulit dimanfaatkan sebagai alas duduk atau hiasan dinding, sedangkan tanduk dan tengkorak kepala anoa dipercaya memiliki kemampuan sebagai obat tradisional. Tanduk anoa jika dikikir dan serbuk halusnya direndam dengan minyak kelapa maka dapat digunakan sebagai obat gosok. Jika dicampurkan ke dalam air minum ternak maka dapat menyembuhkan ternak kerbau atau sapi yang menderita kembung. Ramuan obat-obatan tradisional jika direbus dengan menggunakan tengkorak kepala anoa maka dipercaya akan memiliki khasiat yang berlipat (personal informasi). Beberapa personal informasi juga menyebutkan bahwa tengkorak kepala anoa dianggap mampu mengusir roh jahat. Berdasarkan hasil penelitian Kasim (2002) diperoleh informasi bahwa anoa memiliki indeks penyebaran kelompok urat daging baku lebih baik daripada sapi, kerbau dan banteng. Lebih lanjut dijelaskan bahwa anoa mampu beradaptasi dengan cepat secara baik terhadap jenis bahan pakan yang ada di kondisi ex situ, sehingga memungkinkan untuk dijadikan satwa budidaya. Meskipun demikian Kasim (2002) menegaskan bahwa pada kondisi penangkaran atau budidaya anoa masih banyak mendapat cekaman (stress) baik akibat suhu lingkungan ataupun karena makanannya, sehingga perlu diketahui dan dipelajari dari segi aspek domestikasi tersebut. Hasil penelitian Pujaningsih et al. (2007) tentang perbandingan tingkah laku anoa di habitat aslinya dengan tingkah laku anoa di luar habitatnya melaporkan bahwa anoa mampu berinteraksi baik dengan “keeper” (perawat) di lokasi penangkaran. Satwa tersebut dapat menerima dengan baik kehadiran para perawatnya pada saat pemberian pakan dan pembersihan kubangan maupun tempat pakannya.
Manansang et al. (1996) memperkirakan tempat penangkaran ex situ di Indonesia akan mampu menampung 170 ekor anoa. Lokasi penangkaran ex situ di Eropa, Amerika Utara dan Asia menyediakan dana untuk penangkaran sekitar 125 ekor anoa pada 27 institusi. Total bila dijumlahkan maka sekitar 295 ekor anoa dapat dijamin kelangsungan hidupnya sebagai cikal bakal penghasil F1. Selanjutnya melalui tata laksana pemeliharaan yang tepat, upaya konservasi dan pemanfaatan satwa ini dapat menunjukkan hasil yang positif dan signifikan terhadap perkembangan populasinya. Seiring dengan upaya pelestarian dan konservasi satwa tersebut dilakukan juga upaya pemanfaatan anoa bagi kesejahteraan masyarakat khususnya di wilayah penyebaran anoa.
Beberapa informasi tentang potensi satwa ini sebagai sumber protein tinggi dengan lemak rendah telah dilakukan, sehingga pemanfaatan anoa sebagai salah satu penghasil daging adalah sangat prospektif. Diharapkan upaya pemanfataan satwa ini dengan benar dapat mengimbangi kebutuhan perkembangan populasi penduduk sehingga keberadaan satwa ini tetap lestari.
KESIMPULAN
Konsep konservasi moderen tidak mengartikan konservasi sebagai tidak boleh memanfaatkan, melainkan memanfaatkan secara berkelanjutan. Melalui pemanfaatan berkelanjutan diharapkan kelestarian akan tetap terjaga.
Anoa memiliki prospek sebagai satwa budidaya dengan beberapa potensi antara lain: mampu memanfaatkan sumber daya setempat, mampu beradaptasi dengan iklim, ketahanan terhadap penyakit relatif tinggi, tanduknya dipercaya sebagai obat tradisional, kulitnya mempunyai nilai ekonomis dan dagingnya sebagai sumber protein rendah lemak
UCAPAN TERIMA KASIH
Tulisan ini tidak akan selesai tanpa bantuan dan kerjasama yang baik dari Amran, pak Husein, “Jack”, Eko, pak Suryadi, pak Sopi. Terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Alikodra, H.S. 1996. The implementation of forest resource conservation in sustainable forest management in
Bhatti, S.A., J. G. P. Bowman, J. L. Firkins, A. V. Grove and C. W. Hunt. 2008. Effect of intake level and alfalfa substitution for grass hay on ruminal kinetics of fiber digestion and particle passage in beef cattle. J. Anim Sci. 86:134-145.
Cavender, R.B. and R.M. Hansen. 1970. The microscope method used for herbivore diet estimates and botanical analysis of litter and mulch at Pawnee site. Grassl.
De Boer, W.F, C.P. Ntumi, U.C. Augusto and M.M. Jorge. 2000. Diet and distribution of elephant in the Maputo Elephant Reserve,
Direktur Jendral PHKA (Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam). 2002. Program Pembangunan Nasional Bidang Perlindungan dan Konservasi Alam. Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam. Jakarta
Fadjar, S.F. 1973. Anoa di Kebon Binatang Ragunan Jakarta. Skripsi pada Universitas Nasional Jakarta, Jakarta.
FAO. 2002. State of
Foppe, F.M. 1984. Microhistological technique training program. Miscellaneous Publications, Composition Analysis Laboratory. Range Science Departement,
Franco, A.M.A., I. Catry, W.J. Sutherland and J.M. Palmeirim. 2004. Do different habitat preference survey methods produce the same conservation recommendations for lesser kestrels? J. Animal Conservation. 7: 291-300.
Golden, J.W., M. S. Kerley and W.H. Kolath. 2008. The relationship of feeding behavior to residual feed intake in crossbred Angus steers fed traditional and no-roughage diets. J. Anim Sci. 86:180-186.
Groves, C.P. 1969. Systematics of the Anoa (Mammalia, Bovidae). Beaufortia Zoological Museum of University of Amsterdam. 17 (223): 1-12.
Grovum, W.L. 1988. Appetite, palatability and control of feed intake. In: The Ruminant Animal, Digestive Physiology and Nutrition. Edited by
Grzimek, B. 1975. Grzimek’s Animal Life Encyclopedia. Mammals, I-IV. vol 10-13. Van Nostrand Reinhold, New York.
Gunawan, H dan A.S. Mukhtar. 2005. Pengaruh perambahan terhadap vegetasi dan satwa liar di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai, Provinsi Sulawesi Tenggara. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. 2 (5): 449-459.
Hansen, R.M., T.M. Foppe, M.B. Gilbert, R.C. Clark and H.W. Reynolds. 1984. The microhistological analyses of faeces as an estimator of herbivore dietary. Miscellaneous Publications, Composition Analysis Laboratory, Range Science Department, Colorado State University, Colorado.
Harding,H.A.1978. Manajemen Produksi (Seri Manajenen No.35). Penerbit Balai Aksara.
Hofmann, R.R. 1988. Anatomy of the gastro-intestinal tract. In: The Ruminant Animal, Digestive Physiology and Nutrition. Edited by
Hügi, C.K., G. Klaus, B. Schmid and B. König. 1999. Feeding ecology of a large social antelope in the rainforest. J. Oecologia. 119:81-90
IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources). 2001. IUCN Red List Categories and Criteria: Version 3.1. IUCN Spesies Survival Commision. IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK.
Labiro, E. 2001. Analisis Komposisi Pakan Satwaliar Anoa (Bubalus sp) di Kawasan Hutan Taman Nasional Lore Lindu Propinsi Sulawesi Tengah. Thesis pada Program Pascasarjana, Universitas Mulawarman, Samarinda.
Kasim, K. 2002. Potensi Anoa (Bubalus depressicornis dan Bubalus quarlesi) sebagai Alternatif Satwa Budidaya dalam Mengatasi Kepunahannya. Disertasi pada Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor,
Malik, A., R.I. Pujaningsih and E. Labiro. 2004. Participatory of Wildlife Conservation in Central Sulawesi Indonesia. (A review on a case study of Anoa Bubalus sp. as one of endemic endangered animal from Sulawesi, Indonesia). In: Proceeding of The 5th International Symposium-cum-Workshop by SEAG, Royal Agricultural University and the University Consortium Georg-August-University Göttingen, University of Kassel and Philipps University Marburg. Phnom Penh, August 23 - 27, 2004.
Manansang, J., S. Hedges,
Mustari, A.H. 1996. Ecology and Conservation of Lowland Anoa (Bubalus depressicornis Smith) in Tanjung Amolengu Wildlife Reserve Southeast Sulawesi. Dalam: Population and Habitat Viability Assessment Workshop Report.
Mustari, A.H. 1997. Kebutuhan Nutrisi Anoa (Bubalus sp.) di Kebun Binatang Ragunan
Mustari, A.H. 2002. Ekologi makan anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis) di Suaka Margasatwa Tanjung Peropa, Sulawesi Tenggara. Dalam: Nawangsari S, Suwelo I.S, Wiryawan K.G, Prawiradilaga D.M, Syam A, Farida W.R. Eds. Prosiding Seminar Nasional Biologi dan Konservasi Ungulata; Bogor 5 Februari 2002.
Mustari, A.H. 2003a. Kebutuhan Pakan Anoa Dataran Rendah (Bubalus depressicornis, Smith) di Suaka Margasatwa Tanjung Peropa, Sulawesi Tenggara. Media Konservasi, Jurnal Ilmiah Bidang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Lingkungan. Volume VIII/Nomor 3, Desember 2003.
Mustari, A. H. 2003b. Ecology and Conservation of Lowland Anoa (Bubalus depressicornis) in
Prawirokusumo, S. 1993. Ilmu Gizi Komparatif. Ed. I. Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada. BPFE. Yogyakarta.
Pujaningsih, R.I. 2005. Identifikasi Vegetasi Pakan Alami Anoa (Bubalus sp). In: Proceeding of The 6th International Symposium-cum-Workshop by SEAG, Gadjah Mada University and the University Consortium Georg-August-University Göttingen, University of Kassel and Philipps University Marburg. Yogyakarta, August 22 - 26, 2005.
Pujaningsih, R.I., A. Malik and S. Pudyatmoko. 2007. Comparation study progress on Anoa’s behaviour prior to conservation program. Presented on 7th Mini Workshop by International Alumni Network
Soehartono, T. dan A. Mardiastuti. 2003. Pelaksanaan konvensi CITES di Indonesia. Japan International Cooperation Agency (JICA), Jakarta.
Viljoen, P.J. 1989. Habitat selection and preferred food plants of a desert-dweilling elephant in the northern
Whitten, AM., G.S. Mustafa and Henderson. 1987. The Ecology of
Winenang, S. 1996. Penyebaran Anoa dan Babirusa di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Dalam: Population and Habitat Viability Assessment Workshop Report. Taman Safari Indonesia, Cisarua. 22-26 Juli 1996.
Monday, August 18, 2008
Bad Mood.........
Thursday, July 17, 2008
A good collaboration
Misalnya saat pakan dituangkan satu demi satu ke dalam kotak-kotak prasmanan si anoa, Wahyu dengan keeper musti bergantian memancing anoa supaya menjauh dulu, sehingga pakan dapat disajikan secara bersamaan supaya nantinya bisa diketahui, mana pakan yang menarik minat anoa untuk duluan dilahap....
Tetapi untuk koleksi faeces anoa, mau tidak mau pak Suryadi musti main petak umpet dengan si manja yang maunya dibelai terus ini...
Padahal di ujung yang lain Wahyu sudah terus-menerus berusaha cari perhatian supaya si anoa berpaling kepadanya....keciaann deh...dicuekkin....
Wednesday, July 16, 2008
Cafetaria Feeding
Satwa ini bisa dengan cepat beradaptasi dengan pakan yang diberikan di lokasi penangkarannya, ada rumput gajah ya makan rumput gajah, adanya daun pohon beringin ya ga papalah....
Tetapi seperti halnya manusia Indonesia yang belum bisa dibilang sudah makan jika belum makan nasi, maka anoa juga perlu diketahui jenis pakan seperti apa yang sebenarnya benar-benar diperlukan oleh binatang ini...
Manusia juga bisa kenyang jika tidak makan nasi tapi diganti dengan kentang, orang jawa juga bisa makan ikan terus tanpa menyentuh sayur lodeh atau tahu tempe, tapi apakah pola makan yang terus menerus seperti itu bisa bikin happy ?? Kalau awak ini tidak happy, mana bisa bersosialisasi dengan baik... Bawaannya pasti uring-uringan terus, lha kalau bawaannya mau marah terus...lalu kapan sempat pe de ka te ?? bagaimana bisa pacaran...? selanjutnya...lebih jauh lagi kapan bisa berkembang biak ??
(aduuh....rancu deh, istilah di dunia manusia dengan istilah di dunia satwa...)
Dan setelah dicobakan dengan model cafetaria feeding, artinya si anoa disiapkan "buffet" sehingga do'i bebas memilih, terbukti bahwa untuk jenis pakan tertentu satwa ini sangat suka menyantap duluan... Pilihan pertama adalah ubi jalar, lalu diikuti rumput gajah tapi kalau buncis diberikan lebih dahulu maka dia pilih buncis dan wortel dulu baru makan rumput, setelah itu baru dia pindah ke kotak berisi jagung atau pisang...
Lihat nii...menu makan anoa...ditambah bakso sama udang jadi cap jay deh....
Tuesday, July 15, 2008
Collecting data Tahap 2
By the way, tanpa kerjasama yang baik dengan para keeper di Taman Margasatwa Ragunan Jakarta .. Yanuar alias "Jack", Eko, pak Suryadi, Agung....pastilah tahap koleksi data menemui hambatan yang tidak sedikit.... Sebab para anoa itu sangat sayang pada keeper masing-masing, patuh pada keeper masing-masing, mahasiswa yang ditugasi untuk memberi makan dan mengkoleksi faeces mengalami kesulitan takut ditanduk jika masuk ke dalam kandang....
Tapi sempat deg..deg..an juga karena pada hari ke 4 koleksi data, anoa jantan ngambeg makan, aduuuh....jangan-jangan sakit, stress....ntar kalau mate lalu gimana....binatang langka secantik itu... Bener lho...anoa itu cantik, bulunya halus dan tebal... Kalau saja bisa dan boleh, saya pengen juga pelihara anoa di rumah...keren boo....
Eh, ternyata si anoa ngambeg makan karena sore hari, ada kunjungan anak-anak kecil yang "menyebalkan"... Bocah-bocah itu mendapatkan bahwa si anoa cukup jinak dan ingin dielus-elus...eeeh...bukannya dielus malah dipukul pake botol plastik bekas air mineral !!!
Duuuh....anak e sopoooo..........????!!! Kok yo jahil banget... Di sini peran keeper sangat terpuji dalam upaya menenangkan dan membujuk anoa soulmatenya supaya mau makan lagi....
Makasih Jack......
Makasih Eko.........
Makasih pak Suryadi.......
Makasih Agung.......
Monday, June 02, 2008
PENTINGNYA ADAPTASI
Ealaah... malah dipakai tidur-tiduran... baring-baring.... santai boo.....
Gemes-gemes geli juga sih....
Terpaksa dibikinkan yang permanen dengan ukuran yang hanya pas untuk moncongnya mengambil makanan yang disediakan....
Friday, May 02, 2008
Local name and botanical name
Betul-betul fundamental research ibarat kertas kosong yang memiliki spot-spot informasi yang belum ada benang merahnya... Masih harus dikonfirmasi ulang dan lagi ... ulang dan lagi....
Misalnya untuk upaya identifikasi vegetasi pakan yang jadi preferensi anoa ini... Hanya berbeda lokasi tetapi dalam wilayah desa yang sama, nama lokal untuk satu jenis vegetasi bisa berbeda, demikian juga sebaliknya...
Satu jenis vegetasi yang sudah jelas botanical namenya, ternyata memiliki nama lokal yang berbeda-beda. Misalnya.. di wilayah Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah, Garcinia sp. ada disebut orang dengan enu, kume, bonitu, tumpu.
Meanwhile, sama-sama disebut Bonitu, ternyata botanical namenya beda, bukan Garcinia sp melainkan Ardisia sp. Udah gitu, adalagi bonitu 1, bonitu 2 karena memang spesiesnya beda dan teridentifikasi dari bentuk epidermisnya yang beda juga....
hmmm...asyik..asyik mumet juga...
Soalnya kalau mau check and recheck repot euy protokolernya....tapi yo musti kudu dikerjakan to....???? Tetap semangat !!!
Sunday, April 27, 2008
Mengintip anoa "mandi"..
Sayangnya, satwa yang sepintas kelihatan suka bebersih diri ini punya kebiasaan buruk juga.... Ituu....sambil berkubang sambil defekasi... oouuch....
Tapi masih akan terus diintip dan dipelajari, mengapa dia punya kebiasaan jorok seperti itu...
At least kebiasaan ini menyebabkan pengasuh anoa di Taman Margasatwa Ragunan Jakarta mesti membersihkan bak kubangan sekaligus tempat minum anoa ini setidaknya 3 hari sekali...
Saturday, April 26, 2008
Vegetasi Taman Nasional Lore Lindu
Lore Lindu adalah salah satu Taman Nasional di Indonesia yang luasnya 229.177,5 ha. Taman ini berlokasi di Propinsi Sulawesi Tengah yang dapat dicapai dengan bus yang jaraknya kira-kira 50 km ke arah tenggara dari kotamadya Palu. Menurut World Wild Foundation dan laporan Yayasan lokal (1983) bahwa pertama diusulkan kawasan ini bernama Lore Kalamanta berdasarkan SK.No.522/Kpts/Um/10/1973 ditambah dengan hutan wisata / hutan lindung, danau Lindu berdasarkan SK.No.46/Kpts/Um/1/1978, akan tetapi nama dan statusnya berganti menjadi Taman Nasional Lore Lindu.
Lore Lindu merupakan daerah pegunungan yang diselingi oleh 3 lembah yaitu Lembah Besoa, lembah Bada dan lembah Palolo-Sopu. Pada bagian utara terdapat puncak gunung tertinggi yaitu Rorekatimbu (2.610 m dpl) dan Gunung Nokilalaki (2.355 m dpl). Kawasan ini terbentang secara melebar dari ketinggian 200 m (dekat Irigasi Gumbasa/ Pakuli) hingga 2.610 m ( G. Rorekatimbu).
TNLL terletak di dua wilayah kabupaten, yakni Kabupaten Poso dan Kabupaten Donggala Propinsi Sulawesi Tengah (Sulteng). Di Kabupaten Poso, TNLL merupakan bagian dari Kecamatan Lore Utara dan Kecamatan Lore Selatan. Sedangkan di Kabupaten Donggala, TNLL merupakan bagian dari tiga (3) kecamatan yaitu Kecamatan Kulawi, Kecamatan Biromaru dan Kecamatan Palolo. Terdapat enam puluh tujuh (67) desa yang berhubungan langsung dengan TNLL. TNLL terletak diantara 1°8’ sampai dengan 1°30’ Lintang Selatan (LS) dan 119°58’ sampai dengan 120°16’ Bujur Timur (BT).
TNLL memiliki dua tipe vegetasi, yakni hutan hujan dataran rendah (200-1000 meter di atas permukaan laut) dan hutan hujan pegunungan (1000-2500 meter di atas permukaan laut). Ciri utama vegetasi yang terdapat dalam TNLL terdapat pada vegetasi penutup yang didominasi berbagai jenis rotan (Calamus, sp). Hingga saat ini lebih dari 20 jenis telah dikenal, dan beberapa diantaranya mungkin penting secara ekologis sebagai jenis khas dari tipe vegetasi tertentu atau sebagai indikator dari habitat yang spesifik. Sampai taraf tertentu ini juga berlaku bagi pinanga serta berbagai jenis tumbuhan semak dan paku-pakuan. Walaupun masih memerlukan penyelidikan yang lebih dalam, sementara ini tipe vegetasi utama di Taman Nasional ini dapat dikatakan memiliki penyebaran menurut ketinggian.
Pohon yang terdapat pada kedua zona memiliki tajuk yang tinggi dan berukuran sama. Tinggi pohon mencapai ukuran 30-40 meter dengan diameter 70-80 cm. Struktur vegetasinya pun mirip satu sama lain, serta sering kali tidak memilki batas-batas yang agak jelas pada ketinggian 1.000 m. Disini epifit dan lumut menjadi lebih lazim dijumpai dan jenis-jenis tumbuhan pegunungan secara bertahap menggantikan jenis tumbuhan dataran rendah, walaupun beberapa jenis tumbuhan dataran rendah masih dapat dijumpai sampai ketinggian 1.500 m. Di dalam tipe hutan hujan pegunungan juga mudah dikenali suatu sub-zona , yaitu hutan hujan pegunungan bawah .
Vegetasi di wilayah hutan hujan dataran rendah
Komposisi flora hutan hujan dataran rendah agak bervariasi ditandai jenis yang dikenal dengan mussaendopsis beccariana, ficus sp, myristica sp, pterospermum, canangium odoratum, arenga pinatta, arenga sp, dan lain-lain. Vegetasi pada hutan hujan dataran rendah ini meliputi kurang dari 10 % dari luas TNLL dan terutama dapat dijumpai pada jalur sempit yang terbentang sepanjang batas utara dan barat pada ketinggian antara 200 sampai 1.000 m komposisi tumbuhan dari zona ini agak beraneka ragam, tidak dijumpai jenis tertentu yang dominan. Ciri vegetasi ini ditandai oleh adanya pohon yang dikenal sebagai Pawa (Rubiaceace), Ntrode (Pterospermun celebicum), Ndolia (Cananga odorata), Ngkera (Horsfieldia sp), Lawedaru (Knema atau Myristica) dan juga Palma saguer (Arenga pinata) dan take (Arenga undulatifolia), Mpire (Caryota sp). Pada umumnya jenis tumbuhan tersebut tidak terdapat pada ketinggian lebih dari 1.000 m .
Jenis tumbuhan lain yang diketemukan dalam zona vegetasi ini adalah Tahiti (Disoxyllum sp), Uru (Elmerillia atau Manglietia), Luluna (Celtis sp), Maro (Garcinia sp), Kaupahi, Dango (Carralia brachiata), Palili (Lithocarpus sp), Nuncu (Ficus sp), Tingaloko (Leea sp), Tea Uru (Artocarpus sp), Huka (Gnetum gnemon), Pangi (Pangium edule), Kau mpangana (Ardisia). Di beberapa tempat juga terdapat Vatica sp (Dipterocarpaceae) Durio zibethinus (durian), Duabanga moluccana (Lekotu) dan Octomeles sumatrana (benoang)
Vegetasi ini bergabung dengan vegetasi sekunder yang tumbuh setelah hutan asli dibuka untuk perladangan dan kemudian ditinggalkan. Komposisi tumbuhan dari vegetasi sekunder ini bervariasi menurut umur serta lokasi tegakan. Secara umum dalam tahun pertama setelah ladang ditinggalkan muncul kemudian rumput-rumput dan jenis tumbuhan yang tak berkayu. Pada tahun kedua atau ketiga, herba penutup ini akan diganti oleh semak belukar yang lebat, yang didominasi oleh walobira (Melastoma malabathricum) dan atau hinduru (Villebrunnea sp). Jenis pohon yang kelak menggantikan semak belukar ini diantaranya wulaya (Trema orientalis), hinanu (Callicapra), kuo (Alphitonia zizyphoides), paili (Lithocarpus). Jenis-jenis ini dapat membentuk suatu tegakan campuran, atau tegakan yang didominasi oleh beberapa jenis saja, tetapi bisa juga masing-masing menguasai areal tertentu untuk membentuk suatu tegakan murni. Sebagai tambahan bahwa tanah terbuka yang dibiarkan sesudah longsor terjadi, mungkin langsung seluruhnya diambil alih oleh (Casuarina sumatrana atau Pigaffeta elata)
Vegetasi di wilayah hutan hujan pegunungan
Hutan hujan pegunungan yang merupakan 90 % dari luas seluruh areal TNLL didominasi jenis vegetasi seperti misalnya castanopsis asgentea, lithocarpus sp. Juga terdapat beberapa jenis yang agak terbatas jumlahnya seperti misalnya podocorpus, elacorpus, adinandra, listea, callohyllun, eucaliptus deglupta dan lain-lain.
Pada vegetasi hutan hujan pegunungan, karena lebih dari 90 % dari TNLL ini berada pada ketinggian di atas 1.000 m (antara 1.000 - 2.600 m), maka bagian terbesar vegetasi yang menutupi Taman Nasional ini adalah hutan hujan pegunungan. Vegetasi di zona ini ditandai oleh adanya dominasi dari jenis pohon tertentu seperti kaha (Castanopsis argentea), palili bohe, palili nete, palili pence (Lithocarpus sp) dan berbagai jenis Syzigium. Jenis lain yang juga terbesar tetapi kurang begitu umum ditemukan adalah jenis-jenis dari Podocarpus, Elaeocarpus, Adinandra, Lasianthus, Cinnamomum, Letsea, Callophylium. Salah satu pohon yang tajuknya terbesar yaitu Aghatis celebica dan Agathis philippinensis biasanya terdapat dalam suatu tegakan atau sebagai individu-individu yang tersebar pada punggung bukit di atas ketinggian 1.500 m, bersama-sama dengan Phyllocladus hypophyllus dan Pandanus sp, Litsea sp. Vegetasi jenis lain yang mendominasi kawasan ini adalah Rhododendron sp (R. malayanum, R.celebicum dan R. Zollingerii), dan Vaccinium sp.
Referensi:
Kinnaird M F, 1997. Sulawesi Utara, Sebuah Panduan Sejarah Alam . Yayasan Pengembangan Wallacea.
Malik, A., Pujaningsih, R.I. and Labiro, E. 2004. Participatory of Wildlife Conservation in Central Sulawesi Indonesia. (A Review on A Case study of Anoa Bubalus spp. as one of endemic endangered animal from Sulawesi, Indonesia). In: Proceeding of The 5th International Symposium-cum-Workshop "The Role of German Alumni in Rural/Regional Development and Entrepreneurship " by SEAG, Royal Agricultural University and the University Consortium Georg-August-University Göttingen, University of Kassel and Philipps University Marburg. Phnom Penh, August 23 - 27, 2004.
Ramadhanil P dan Z. Basri. 2002. Rattan Inventory In The Margin of
Whitmore, T C, I G M Tantra, 1989. Tree Flora of
Saturday, April 19, 2008
PERKEMBANGAN PENELITIAN DI BIDANG VEGETASI PAKAN ALAMI ANOA
Fadjar (1973) melaporkan bahwa di tempat penangkarannya di Kebun Binatang Ragunan Jakarta anoa diberi makan rumput, dedaunan dan buah-buahan. Pemberian jenis pakan tersebut berdasarkan informasi dari penduduk asal anoa ditangkap (Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara). Whitten et al. (1987) menginformasikan bahwa anoa mengkonsumsi biji dari tumbuhan Lithocarpus sp, Castanopsis sp dan Leptospermum sp. Para peneliti Jerman yang berkolaborasi dengan peneliti dari Institut Pertanian Bogor dan Universitas Tadulako pada periode tahun 2000-2003 menduga bahwa anoa turut berperan dalam penyebaran spesies tumbuhan tersebut melalui biji yang dimakan tetapi tidak tercerna dan terekskresikan pada proses defekasi anoa.
Penelitian tentang ekologi dan konservasi anoa dataran rendah telah dilakukan oleh Mustari (1996) di Suaka Margasatwa Tanjung Amolengu Sulawesi Tenggara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 33 spesies vegetasi yang diduga dikonsumsi oleh anoa di lokasi tersebut. Bagian vegetasi yang diduga dikonsumsi oleh anoa meliputi dedaunan dan batang tanaman muda, buah-buahan masak dan umbi tanaman.
Winenang (1996) menyatakan bahwa belum banyak penelitian yang dilakukan tentang tingkah laku makan dan jenis pakan anoa. Pengamatan langsung yang dilakukan di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone Sulawesi Utara menginformasikan dugaan bahwa anoa di habitatnya mengkonsumsi dedaunan dari semak-semak muda, sedangkan di tempat penangkaran beradaptasi dengan pakan berupa rerumputan. Kebutuhan nutrisi anoa di Kebun Binatang Ragunan Jakarta diteliti oleh Mustari (1997) dengan metode penghitungan konsumsi pakan.
Analisis komposisi pakan anoa di TNLL Sulawesi Tengah dilakukan oleh Labiro (2001) menggunakan metode pengamatan langsung berdasarkan bekas senggutan, kotoran dan jejak kaki anoa yang terdapat di lokasi vegetasi. Informasi yang diperoleh merekomendasikan bahwa TNLL memiliki potensi cukup besar dalam menyediakan vegetasi pakan untuk anoa. Pada tahun 1992 Foead juga telah mencoba mengidentifikasi jenis pakan alami anoa di Taman Nasional Lore Lindu dengan menggunakan kombinasi pengamatan langsung dan analisis faecal. Tetapi karena terbatasnya referensi sampel epidermis vegetasi maka informasi direkomendasikan sebatas prosentase vegetasi dikotil dan monokotil yang teridentifikasi dikonsumsi oleh anoa.
Mustari (2003b) dalam disertasinya menggunakan metode langsung dan tidak langsung untuk mendapatkan informasi jenis pakan anoa di habitatnya di Suaka Margasatwa Tanjung Peropa dan Tanjung Amolengu Sulawesi Tenggara. Metode langsung dilakukan melalui pengamatan vegetasi di habitat anoa berdasarkan bekas senggutan, kotoran dan jejak kaki anoa, sedangkan metode tidak langsung dengan menganalisis kotoran anoa untuk mengidentifikasi vegetasi yang telah dikonsumsi oleh satwa tersebut. Identifikasi pakan anoa dengan metode pengamatan langsung di Desa Toro wilayah TNLL Sulawesi Tengah dan identifikasi teknologi pengolahan pakan anoa dilakukan oleh Pujaningsih et al. (2005).
Gambar bentuk kotoran anoa dibandingkan ukuran GPS.
Berdasarkan informasi tentang identifikasi pakan anoa di berbagai daerah di pulau Sulawesi dapat diambil kesimpulan sementara bahwa anoa mengkonsumsi pakan dengan kadar protein rendah, kandungan serat kasar tinggi dan kandungan air yang relatif tinggi. Anoa juga mudah diadaptasikan dengan pakan yang terdapat di sekitar satwa tersebut tinggal (in situ maupun ex situ). Meskipun demikian kontinyuitas kualitas dan kuantitas pakan sangat diperlukan anoa untuk menjamin kebutuhan hidup pokok, produksi dan reproduksinya dalam potensinya sebagai satwa budidaya. Didukung oleh informasi yang ada maka penelitian tentang teknologi penyediaan dan pengolahan pakan anoa yang aplikatif perlu dilakukan untuk membantu upaya penyediaan pakan dalam rangka konservasi anoa dan pemanfaatannya sebagai satwa budidaya. Kebutuhan pakan yang tepat dan kontinyu baik kualitas maupun kuantitas bagi anoa akan sangat membantu penampilan fisik dan proses reproduksinya.
Friday, April 04, 2008
JENIS SATWA ENDEMIK (CITES)
Daftar beberapa jenis endemik Wilayah Wallacea
yang tercantum dalam appendix CITES
No. | Nama Ilmiah | Nama Indonesia | Appendix CITES |
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. | Phalanger intercastellanus Phalanger orientalis Tarsius pumilus Tarsius spectrum Macaca maura Macaca nigra Macaca ocreata Macaca tonkeana Babyrousa babyrussa Bubalus depressicornis Bubalus quarlesi Otus manadensis Pedelopides exarnatus Aceros casidix Varanus indicus Varanus komodoensis Varanus timorensi Macrocephalon maleo Accipiter manus Accipiter rhodogaster Eos histrio Tricoglosus ornatus Dan banyak lagi jenis lainya | Kuskus selatan Kuskus biasa Krabuku kecil Krabuku tangkasi Monyet dare Monyet wolai Monyet yaki Monyet boti Babi rusa Anoadataranrendah Anoa gunung Celepuk Sulawesi Rangkong Sulawesi Julang Sulawesi Biawak maluku Biawak komodo Biawak timor Maleo Elang alap kecil Elang alap dada merah Nuri Talaud Perkici dora | II II II II II II II II I I I II II II II I II I II II I II |