Menurut Groves (1969), di Sulawesi terdapat dua jenis anoa, yaitu anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis) dan anoa gunung (Bubalus quarlesi). Anoa memiliki warna bulu coklat kemerahan hingga hitam. Seekor anoa dapat mencapai umur sekitar 20-25 tahun. Periode bunting adalah 276 - 315 hari dan biasanya melahirkan satu anak. Menurut Grzimek (1975) panjang kepala dan badan anoa berkisar 1600-1720 mm, panjang ekor 180-310 mm, tinggi bahu 690-1060 mm, berat badan berkisar 150-300 kg. Berat badan anoa ini dianggap dan dibuktikan terlalu berlebihan oleh beberapa peneliti (Mustari, 1996; Mustari, 2002; Kasim, 2002) karena berdasarkan penimbangan 12 ekor anoa yang ditangkap oleh peneliti-peneliti tersebut tidak satu pun yang memiliki berat badan lebih dari 110 kg untuk anoa dataran rendah dan 100 kg untuk anoa dataran tinggi. Perbedaan ini dimungkinkan karena pada kurun waktu yang berbeda maka ketersediaan pakan anoa pun berbeda baik dalam kualitas maupun kuantitasnya.
Sampai akhir abad ke-19, anoa dapat dijumpai hampir di seluruh daratan pulau Sulawesi. Berdasarkan data dari IUCN (2001) sejak tahun 1979, secara pasti jumlah anoa kian merosot bahkan di beberapa wilayah yang dekat dengan desa/kampung, keberadaannya telah menghilang sama sekali. Anoa saat ini hanya dapat ditemukan di dalam hutan primer di wilayah Taman-taman Nasional di pulau Sulawesi. Belum ditemukannya pemahaman yang sempurna untuk upaya budidayanya menyebabkan perkembangbiakan anoa menjadi terhambat.
Hasil pengamatan Mustari (1996) melaporkan bahwa anoa aktif di pagi dan sore menjelang malam hari. Periode waktu di antaranya digunakan untuk beristirahat dan beruminasi di dalam hutan. Whitten et al. (1987) melaporkan bahwa anoa tidak pernah berada di wilayah yang sama dengan rusa maupun babi hutan. Hal ini diduga karena kebiasaan anoa sebagai “browser” dan rusa sebagai “grasser”. Meskipun demikian karena habitat yang semakin sempit, Mustari (1996) menemukan bahwa anoa dan rusa hidup berdampingan di SM Tanjung Amolengu pada area seluas 5 km2.