Thursday, September 11, 2008

(review: Potensi Anoa sebagai Satwa Budidaya)

PENDAHULUAN

Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi kedua di dunia setelah Brasil. Walaupun luas total daratan hanya 1,3 % dari seluruh permukaan bumi, Indonesia memiliki 10 % tumbuhan berbunga (27.000 jenis), 12 % mamalia (515 jenis), 16 % satwa amphibia (270 jenis), dan 17 % aves (1. 539 jenis). Indonesia tidak hanya kaya dengan jenis flora dan fauna, tetapi juga memiliki banyak jenis endemik. Misalnya endemisitas fauna di pulau Sulawesi yang disebabkan oleh posisi geografisnya yang terletak di kawasan Wallacea. Di pulau Sulawesi, dari 263 jenis burung yang ditemukan, 32 persen (86 jenis) adalah jenis endemik. Enam puluh persen (68 jenis) dari 114 jenis mammalia yang ditemukan di Sulawesi merupakan jenis-jenis endemik, serta sebanyak 26 persen (30 jenis) dari 117 jenis reptilia yang ditemukan di pulau Sulawesi adalah jenis-jenis endemik. Sementara itu tingkat endemisme flora di pulau Sulawesi dilaporkan tidak terlalu tinggi, hanya sekitar 7 persen. Tingkat endemisitas jenis yang tinggi juga ditemukan Irian dan di kepulauan Mentawai. Pelestarian keanekaragaman hayati menjadi sangat penting demi pemanfaatannya secara benar dan berkelanjutan.

Konservasi Sumber Daya Alam

Secara harafiah kata konservasi berarti menjaga bersama-sama (berasal dari dua kata dalam Bahasa Latin: con = bersama-sama, servar = menjaga), namun konservasi bukanlah berarti tidak boleh memanfaatkan (Soehartono dan Mardiastuti, 2003). Merujuk pada Ensiklopedia Indonesia (Redaksi Ensiklopedia Indonesia, 1983) konservasi masih diartikan sempit, yaitu perlindungan benda dan hasil produksi dari kerusakan. Akibatnya banyak kalangan yang memandang pembangunan dan konservasi sebagai dua kutub yang bertentangan. Pembangunan menghendaki adanya perubahan sedangkan konservasi tidak menghendaki adanya perubahan, karena perubahan dapat menimbulkan kerusakan. World Conservation Strategy mendefinisikan konservasi sebagai manajemen biosphere secara berkelanjutan untuk memperoleh manfaat bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang (Alikodra, 1996). Konsep konservasi moderen tidak mengartikan konservasi sebagai tidak boleh memanfaatkan, melainkan memanfaatkan secara berkelanjutan. Melalui pemanfaatan berkelanjutan diharapkan kelestarian akan tetap terjaga.

Pentingnya kegiatan konservasi

Konservasi keanekaragaman hayati meliputi konservasi jenis dan genetik, konservasi ekosistem esensial, pengembangan lembaga konservasi, penangkaran tumbuhan dan satwa liar, tertib peredaran tumbuhan dan satwa liar (Direktorat Jendral PHKA, 2002). Sampai sekarang pelestarian tersebut masih belum terlaksana dengan baik, mengingat ancaman yang dihadapi sangat rumit dan sangat sulit untuk diatasi. Beberapa di antaranya adalah pengaruh perubahan iklim, eksploitasi yang berlebihan berupa kegiatan yang mengakibatkan kerusakan fisik penopang kehidupan, pencemaran, kehadiran spesies asing yang invasif, dan kegiatan pembudidayaan yang tidak disertai upaya yang menjamin kelestarian berbagai varietas dari spesies yang dibudidayakan.

Secara umum, terdapat beberapa hal yang menyebabkan rawan punah atau punahnya jenis hayati yaitu: (1) Kurangnya eksplorasi jenis baru, sehingga kepunahan jenis tersebut tidak diketahui; (2) Penyediaaan habitat untuk jenis yang dilindungi masih sangat kurang (Alikodra, 1996; Direktorat Jendral PHKA, 2002; Malik et al., 2004); (3) Habitat yang disediakan tidak sesuai bagi suatu jenis yang dilindungi; (4) Pembangunan yang tidak memperhatikan kelestarian alam (Malik et al. 2004); (5) Pemanfaatan yang memutus daur reproduksi (Kasim, 2002); (6) Adanya pemindahan suatu jenis baru ke dalam suatu ekosistem; (7) Kurang sadarnya akan pentingnya konservasi hewan langka bagi anggota masyarakat sekitar, termasuk pengelola kawasan (Pujaningsih et al., 2007; Soehartono dan Mardiastuti, 2003); (8) Upaya perlindungan belum nyata di lapangan. Masih banyak dijumpai penjualan jenis hayati yang dilindungi di tempat umum; (9) Pengambilan dari alam secara besar-besaran dan terus-menerus (Kasim, 2002; Gunawan dan Mukhtar, 2005).

Terdapat dua jenis model konservasi (FAO, 2002), yaitu konservasi in situ dan konservasi ex situ. Diyakini bahwa ke dua model konservasi diperlukan untuk upaya perlindungan sumber daya alam hayati. Menurut Franco et al. (2004) mempelajari habitat asli akan mendukung upaya pengelolaan di area pemeliharaan yang berbeda. Salah satu contoh konservasi in situ adalah program perbaikan ekosistem suatu kawasan yang dilindungi. Program ini lebih berdaya guna diiringi dengan konservasi ex situ yang berupaya melakukan penyediaan bibit tanaman maupun mengembangbiakan satwa langka di tempat-tempat penangkaran.

Penampilan Umum Anoa

Salah satu binatang endemik yg memerlukan perhatian khusus pada upaya konservasi karena statusnya menurut CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) sudah hampir punah adalah anoa (Bubalus sp.). Anoa termasuk satwa liar endemik dari pulau Sulawesi yang sudah dilindungi undang-undang perlindungan satwa liar sejak tahun 1931. Populasi dan habitat satwa ini semakin menurun baik kuantitas maupun kualitasnya disebabkan oleh kegiatan pembukaan hutan untuk pemukiman, perkebunan, pertambangan dan eksploitasi hutan. Akibatnya habitat anoa menjadi terkotak-kotak, populasi tersebar dalam jumlah kecil, yang pada akhirnya akan menyebabkan isolasi genetik dan terjadi degradasi mutu genetik satwa tersebut. Semakin sempitnya habitat anoa akibat kegiatan eksploitasi hutan, konversi hutan menjadi lahan pertanian, penempatan transmigrasi, perkebunan, industri turut mempercepat kepunahan satwa ini.

Menurut Groves (1969), di Sulawesi terdapat dua jenis anoa, yaitu anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis) dan anoa gunung (Bubalus quarlesi). Anoa memiliki warna bulu coklat kemerahan hingga hitam. Menurut Grzimek (1975) panjang kepala dan badan anoa berkisar 1600-1720 mm, panjang ekor 180-310 mm, tinggi bahu 690-1060 mm, berat badan berkisar 150-300 kg. Berat badan anoa ini dianggap dan dibuktikan terlalu berlebihan oleh beberapa peneliti (Mustari, 1995; Mustari, 2002; Kasim, 2002) karena berdasarkan penimbangan 12 ekor anoa yang ditangkap oleh peneliti-peneliti tersebut tidak satu pun yang memiliki berat badan lebih dari 110 kg untuk anoa dataran rendah dan 100 kg untuk anoa dataran tinggi. Perbedaan ini dimungkinkan karena pada kurun waktu yang berbeda maka ketersediaan pakan anoa pun berbeda baik dalam kualitas maupun kuantitasnya.

Penyebaran dan populasi

Sampai akhir abad ke-19, anoa dapat dijumpai hampir di seluruh daratan pulau Sulawesi. Heller (1889) menyatakan bahwa anoa terdapat di Gorontalo, sekitar Minahasa, Likupang, Lempias dan hutan antara Langowan dan Pangku. Mohr (1921) menggambarkan penyebaran anoa di Sulawesi Utara meliputi daerah Minahasa, Klabat, Teluk Tomini, Matinang dan Randangan. Anoa di Sulawesi Tengah, dijumpai di sekitar danau Lindu, daerah Besoa, Bada, Topebatu Toli-Toli Banggai dan Tobungku. Wilayah Sulawesi Selatan mencatat adanya anoa di sekitar danau Matana, danau Towuti dan Lalangatu. Harper (1945) menulis mengenai keberadaan anoa di Mamuju, Mamasa, Makale-Rantepao, Palopo, Buton, Kendari, Kolaka, Malili dan Masamba.

Perambahan hutan dan perburuan liar terhadap satwa ini menyebabkan tidak semua daerah yang tersebut di atas pada saat ini dihuni oleh anoa (Mustari, 1997). Berdasarkan data dari IUCN (2001) sejak tahun 1979, secara pasti jumlah anoa kian merosot bahkan di beberapa wilayah yang dekat dengan desa/kampung, keberadaannya telah menghilang sama sekali. Daftar Merah (Red List Book) IUCN memasukkan anoa dalam status “endangered”. Anoa pada dewasa ini hanya dapat ditemukan di dalam hutan primer. Wilayah Sulawesi Utara mencatat adanya anoa di Taman Nasional (TN) Dumoga Nani Warta Bone, Cagar Alam (CA) Panua dan beberapa kawasan hutan konsesi HPH (Hak Penebangan Hutan). Anoa di Sulawesi Tengah masih dapat dijumpai di Besoa (Sugiharta, 1994) dan TN Lore Lindu. Keberadaan anoa di Sulawesi Tenggara ditemukan di hutan Suaka Margasatwa (SM) Kolaka Utara, TN Rawa Aopa, SM Tanjung Peropa, SM Tanjung Batikolo, SM Tanjung Amolengu dan SM Buton Utara. Belum ditemukannya pemahaman yang sempurna untuk upaya budidayanya menyebabkan perkembangbiakan anoa menjadi terhambat.

Tingkah laku

Penelitian yang dilakukan oleh Mustari (1995) melaporkan bahwa jarang ditemukan kelompok anoa lebih dari tiga ekor. Menurut Jarman (1974) yang disitasi oleh Hügi et al. (1999) jenis satwa yang mencari pakan dengan meramban, cenderung hidup sendiri atau berpasangan untuk menghindarkan kompetisi dalam mendapatkan pakannya. Dilaporkan juga bahwa anoa mempunyai kesenangan berendam di dalam air dan berkubang di dalam lumpur (Groves, 1969; Fadjar, 1973; Whitten et al., 1987; Mustari, 1995). Periode bunting adalah 276 - 315 hari dan biasanya melahirkan satu anak. Seekor anoa dapat mencapai umur sekitar 20-25 tahun. Hasil pengamatan Mustari (1995) melaporkan bahwa anoa aktif di pagi dan sore menjelang malam hari. Periode waktu di antaranya digunakan untuk beristirahat dan beruminasi di dalam hutan.

Mustari (1995) menyatakan bahwa anoa sebenarnya adalah satwa yang pemalu dan tidak suka ribut. Satwa ini menjadi ganas jika dalam keadaan terluka atau habis melahirkan. Whitten et al. (1987) melaporkan bahwa anoa tidak pernah berada di wilayah yang sama dengan rusa maupun babi hutan. Hal ini diduga karena kebiasaan anoa sebagai “browser” dan rusa sebagai “grasser”. Meskipun demikian karena habitat yang semakin sempit, Mustari (1995) menemukan bahwa anoa dan rusa hidup berdampingan di SM Tanjung Amolengu pada area seluas 5 km2.

Menurut informasi Whitten et al. (1987), anoa adalah binatang monogamus dan tidak menandai wilayah kekuasaannya. Keberadaan anoa di dalam suatu wilayah ditandai dengan adanya bekas defekasi, goresan tanduk pada pepohonan maupun bekas

galian tanah di sekitar tempat satwa ini melakukan defekasi.

Pakan

Sebagaimana ruminansia pada umumnya, pakan anoa terdiri atas hijauan sebagai pakan dasar yang kaya serat kasar untuk sumber energi dan memenuhi isi lambung, dan pakan konsentrat yang kaya protein, energi, mineral organik dan vitamin yang diperlukan ternak. Ransum pakan tradisional lebih menitik beratkan perpaduan rumput dan dedaunan dengan indikator utama kenaikan bobot badan (Pujaningsih, 2005). Sejauh ini belum tersedia data mengenai kebutuhan nutrisi untuk anoa sebagaimana hewan ternak lainnya. Anoa di alam bebas memakan antara lain pakis, rumput, tunas pohon, buah-buahan yang jatuh, dan jenis umbi-umbian. Berdasarkan pengamatan Mustari (1995 dan 2003a); Labiro (2001) dan Pujaningsih, et al., (2005) dilaporkan bahwa anoa kadang-kadang juga meminum air laut yang diduga untuk memenuhi kebutuhan mineral mereka.

Anoa diadaptasikan di tempat-tempat penangkaran maupun kebun binatang, dengan diberi pakan segar yang tersedia di lokasi (Malik et al., 2004; Pujaningsih, 2005; Pujaningsih et al., 2005). Manansang et al. (1996) merekomendasikan pakan dari jenis dedaunan (daun nangka, daun pisang, daun singkong atau yang lainnya), rerumputan, buah-buahan (pisang, nangka, pepaya, jambu atau yang lainnya), sayuran (kangkung, wortel, lobak, ubi, singkong), konsentrat yang mengacu pada konsentrat sapi potong serta garam mineral.

Prospek dan potensi sebagai satwa budidaya

Diperkirakan bahwa anoa sudah menghuni pulau Sulawesi sejak 60 juta tahun yang lalu. Melalui adaptasi yang sangat lama, anoa memiliki beberapa keunggulan dalam hal kemampuan memanfaatkan sumber daya setempat, adaptasi iklim, ketahanan penyakit dan berbagai keunggulan yang tidak dimiliki satwa lain. Satwa ini berpotensi menjadi stok plasma nutfah yang sangat potensiil pada masa datang. Plasma nutfah adalah substansi yang terdapat dalam setiap kelompok makhluk hidup dan merupakan sumber sifat keturunan yang dapat dimanfaatkan dan dikembangkan untuk menciptakan jenis unggulan atau kultivar baru. Upaya konservasi yang lebih mendasar terhadap satwa ini, diantaranya mengamankan habitat dan populasinya, perlu dilakukan untuk mengamankan bank gen tersebut.

Anoa diburu untuk dimanfaatkan kulit, tanduk dan dagingnya. Kulit dimanfaatkan sebagai alas duduk atau hiasan dinding, sedangkan tanduk dan tengkorak kepala anoa dipercaya memiliki kemampuan sebagai obat tradisional. Tanduk anoa jika dikikir dan serbuk halusnya direndam dengan minyak kelapa maka dapat digunakan sebagai obat gosok. Jika dicampurkan ke dalam air minum ternak maka dapat menyembuhkan ternak kerbau atau sapi yang menderita kembung. Ramuan obat-obatan tradisional jika direbus dengan menggunakan tengkorak kepala anoa maka dipercaya akan memiliki khasiat yang berlipat (personal informasi). Beberapa personal informasi juga menyebutkan bahwa tengkorak kepala anoa dianggap mampu mengusir roh jahat. Berdasarkan hasil penelitian Kasim (2002) diperoleh informasi bahwa anoa memiliki indeks penyebaran kelompok urat daging baku lebih baik daripada sapi, kerbau dan banteng. Lebih lanjut dijelaskan bahwa anoa mampu beradaptasi dengan cepat secara baik terhadap jenis bahan pakan yang ada di kondisi ex situ, sehingga memungkinkan untuk dijadikan satwa budidaya. Meskipun demikian Kasim (2002) menegaskan bahwa pada kondisi penangkaran atau budidaya anoa masih banyak mendapat cekaman (stress) baik akibat suhu lingkungan ataupun karena makanannya, sehingga perlu diketahui dan dipelajari dari segi aspek domestikasi tersebut. Hasil penelitian Pujaningsih et al. (2007) tentang perbandingan tingkah laku anoa di habitat aslinya dengan tingkah laku anoa di luar habitatnya melaporkan bahwa anoa mampu berinteraksi baik dengan “keeper” (perawat) di lokasi penangkaran. Satwa tersebut dapat menerima dengan baik kehadiran para perawatnya pada saat pemberian pakan dan pembersihan kubangan maupun tempat pakannya.

Manansang et al. (1996) memperkirakan tempat penangkaran ex situ di Indonesia akan mampu menampung 170 ekor anoa. Lokasi penangkaran ex situ di Eropa, Amerika Utara dan Asia menyediakan dana untuk penangkaran sekitar 125 ekor anoa pada 27 institusi. Total bila dijumlahkan maka sekitar 295 ekor anoa dapat dijamin kelangsungan hidupnya sebagai cikal bakal penghasil F1. Selanjutnya melalui tata laksana pemeliharaan yang tepat, upaya konservasi dan pemanfaatan satwa ini dapat menunjukkan hasil yang positif dan signifikan terhadap perkembangan populasinya. Seiring dengan upaya pelestarian dan konservasi satwa tersebut dilakukan juga upaya pemanfaatan anoa bagi kesejahteraan masyarakat khususnya di wilayah penyebaran anoa.

Beberapa informasi tentang potensi satwa ini sebagai sumber protein tinggi dengan lemak rendah telah dilakukan, sehingga pemanfaatan anoa sebagai salah satu penghasil daging adalah sangat prospektif. Diharapkan upaya pemanfataan satwa ini dengan benar dapat mengimbangi kebutuhan perkembangan populasi penduduk sehingga keberadaan satwa ini tetap lestari.


KESIMPULAN

Konsep konservasi moderen tidak mengartikan konservasi sebagai tidak boleh memanfaatkan, melainkan memanfaatkan secara berkelanjutan. Melalui pemanfaatan berkelanjutan diharapkan kelestarian akan tetap terjaga.

Anoa memiliki prospek sebagai satwa budidaya dengan beberapa potensi antara lain: mampu memanfaatkan sumber daya setempat, mampu beradaptasi dengan iklim, ketahanan terhadap penyakit relatif tinggi, tanduknya dipercaya sebagai obat tradisional, kulitnya mempunyai nilai ekonomis dan dagingnya sebagai sumber protein rendah lemak

UCAPAN TERIMA KASIH

Tulisan ini tidak akan selesai tanpa bantuan dan kerjasama yang baik dari Amran, pak Husein, “Jack”, Eko, pak Suryadi, pak Sopi. Terima kasih.

DAFTAR PUSTAKA

Alikodra, H.S. 1996. The implementation of forest resource conservation in sustainable forest management in Indonesia. In Indonesia’s Efforts to Achieve Sustainable Forestry (Revised Edition). Forum of Indonesian Forestry Scientists.

Bhatti, S.A., J. G. P. Bowman, J. L. Firkins, A. V. Grove and C. W. Hunt. 2008. Effect of intake level and alfalfa substitution for grass hay on ruminal kinetics of fiber digestion and particle passage in beef cattle. J. Anim Sci. 86:134-145.

Cavender, R.B. and R.M. Hansen. 1970. The microscope method used for herbivore diet estimates and botanical analysis of litter and mulch at Pawnee site. Grassl. Biome, US. International Biology Program Technical Report no. 18.

De Boer, W.F, C.P. Ntumi, U.C. Augusto and M.M. Jorge. 2000. Diet and distribution of elephant in the Maputo Elephant Reserve, Mozambique. East AfricanWild Life Society, Afr. J. Ecol., 38:188-201

Direktur Jendral PHKA (Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam). 2002. Program Pembangunan Nasional Bidang Perlindungan dan Konservasi Alam. Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam. Jakarta

Fadjar, S.F. 1973. Anoa di Kebon Binatang Ragunan Jakarta. Skripsi pada Universitas Nasional Jakarta, Jakarta.

FAO. 2002. State of The World’s Forest 2001. DL on http:///www.fao.org at 30.03.2007.

Foppe, F.M. 1984. Microhistological technique training program. Miscellaneous Publications, Composition Analysis Laboratory. Range Science Departement, Colorado State University, Colorado.

Franco, A.M.A., I. Catry, W.J. Sutherland and J.M. Palmeirim. 2004. Do different habitat preference survey methods produce the same conservation recommendations for lesser kestrels? J. Animal Conservation. 7: 291-300.

Golden, J.W., M. S. Kerley and W.H. Kolath. 2008. The relationship of feeding behavior to residual feed intake in crossbred Angus steers fed traditional and no-roughage diets. J. Anim Sci. 86:180-186.

Groves, C.P. 1969. Systematics of the Anoa (Mammalia, Bovidae). Beaufortia Zoological Museum of University of Amsterdam. 17 (223): 1-12.

Grovum, W.L. 1988. Appetite, palatability and control of feed intake. In: The Ruminant Animal, Digestive Physiology and Nutrition. Edited by D.C. Church. Prentice Hall, New Jersey, USA. pp. 202-216

Grzimek, B. 1975. Grzimek’s Animal Life Encyclopedia. Mammals, I-IV. vol 10-13. Van Nostrand Reinhold, New York.

Gunawan, H dan A.S. Mukhtar. 2005. Pengaruh perambahan terhadap vegetasi dan satwa liar di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai, Provinsi Sulawesi Tenggara. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. 2 (5): 449-459.

Hansen, R.M., T.M. Foppe, M.B. Gilbert, R.C. Clark and H.W. Reynolds. 1984. The microhistological analyses of faeces as an estimator of herbivore dietary. Miscellaneous Publications, Composition Analysis Laboratory, Range Science Department, Colorado State University, Colorado.

Harding,H.A.1978. Manajemen Produksi (Seri Manajenen No.35). Penerbit Balai Aksara. Jakarta.

Hofmann, R.R. 1988. Anatomy of the gastro-intestinal tract. In: The Ruminant Animal, Digestive Physiology and Nutrition. Edited by D.C. Church. Prentice Hall, New Jersey, USA. pp.14

Hügi, C.K., G. Klaus, B. Schmid and B. König. 1999. Feeding ecology of a large social antelope in the rainforest. J. Oecologia. 119:81-90

IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources). 2001. IUCN Red List Categories and Criteria: Version 3.1. IUCN Spesies Survival Commision. IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK.

Labiro, E. 2001. Analisis Komposisi Pakan Satwaliar Anoa (Bubalus sp) di Kawasan Hutan Taman Nasional Lore Lindu Propinsi Sulawesi Tengah. Thesis pada Program Pascasarjana, Universitas Mulawarman, Samarinda.

Kasim, K. 2002. Potensi Anoa (Bubalus depressicornis dan Bubalus quarlesi) sebagai Alternatif Satwa Budidaya dalam Mengatasi Kepunahannya. Disertasi pada Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Malik, A., R.I. Pujaningsih and E. Labiro. 2004. Participatory of Wildlife Conservation in Central Sulawesi Indonesia. (A review on a case study of Anoa Bubalus sp. as one of endemic endangered animal from Sulawesi, Indonesia). In: Proceeding of The 5th International Symposium-cum-Workshop by SEAG, Royal Agricultural University and the University Consortium Georg-August-University Göttingen, University of Kassel and Philipps University Marburg. Phnom Penh, August 23 - 27, 2004.

Manansang, J., S. Hedges, S. Dwiatmo, P. Miller and U.S. Seal. 1996. Population and Habitat Viability Assesment Workshop for the Anoa (Bubalus depresicornis and Bubalus quarlesi) Report. Conservation Breeding Specialist Group (SSC/IUCN): Apple Valley, MN.

Mustari, A.H. 1996. Ecology and Conservation of Lowland Anoa (Bubalus depressicornis Smith) in Tanjung Amolengu Wildlife Reserve Southeast Sulawesi. Dalam: Population and Habitat Viability Assessment Workshop Report. Taman Safari Indonesia, Cisarua. 22-26 Juli 1996.

Mustari, A.H. 1997. Kebutuhan Nutrisi Anoa (Bubalus sp.) di Kebun Binatang Ragunan Jakarta. Laporan Penelitian Institut Pertanian Bogor, Bogor. (Tidak dipublikasikan)

Mustari, A.H. 2002. Ekologi makan anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis) di Suaka Margasatwa Tanjung Peropa, Sulawesi Tenggara. Dalam: Nawangsari S, Suwelo I.S, Wiryawan K.G, Prawiradilaga D.M, Syam A, Farida W.R. Eds. Prosiding Seminar Nasional Biologi dan Konservasi Ungulata; Bogor 5 Februari 2002. Bogor: PSIH IPB, Puslit Biologi LIPI, Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam, Dephut.

Mustari, A.H. 2003a. Kebutuhan Pakan Anoa Dataran Rendah (Bubalus depressicornis, Smith) di Suaka Margasatwa Tanjung Peropa, Sulawesi Tenggara. Media Konservasi, Jurnal Ilmiah Bidang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Lingkungan. Volume VIII/Nomor 3, Desember 2003.

Mustari, A. H. 2003b. Ecology and Conservation of Lowland Anoa (Bubalus depressicornis) in Sulawesi, Indonesia. PhD Dissertation. University of New England. Australia.

Prawirokusumo, S. 1993. Ilmu Gizi Komparatif. Ed. I. Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada. BPFE. Yogyakarta.

Pujaningsih, R.I., B. Sukamto and E. Labiro. 2005. Identification and Feed Technology Processing for Roughage in Term of Anoa (Bubalus sp) conservation. National Seminar of Fundamental Research. Jakarta, 16-18th May 2005.

Pujaningsih, R.I. 2005. Identifikasi Vegetasi Pakan Alami Anoa (Bubalus sp). In: Proceeding of The 6th International Symposium-cum-Workshop by SEAG, Gadjah Mada University and the University Consortium Georg-August-University Göttingen, University of Kassel and Philipps University Marburg. Yogyakarta, August 22 - 26, 2005.

Pujaningsih, R.I., A. Malik and S. Pudyatmoko. 2007. Comparation study progress on Anoa’s behaviour prior to conservation program. Presented on 7th Mini Workshop by International Alumni Network Southeast Asia Germany, SEAG – Indonesia. 3-5th of May 2007, Manado.

Soehartono, T. dan A. Mardiastuti. 2003. Pelaksanaan konvensi CITES di Indonesia. Japan International Cooperation Agency (JICA), Jakarta.

Viljoen, P.J. 1989. Habitat selection and preferred food plants of a desert-dweilling elephant in the northern Namib Desert, South West Africa/Namibia. J. Afr. Ecol. 27: 227-240.

Whitten, AM., G.S. Mustafa and Henderson. 1987. The Ecology of Sulawesi. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. pp. 38-41; 412-414; 539-540.

Winenang, S. 1996. Penyebaran Anoa dan Babirusa di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Dalam: Population and Habitat Viability Assessment Workshop Report. Taman Safari Indonesia, Cisarua. 22-26 Juli 1996.

Notes